Powered By Blogger

Sabtu, 19 November 2011

SISTEM PERADILAN ADMINISTRASI

ARTI PENTING ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK (AAUPB) BAGI HAKIM TATA USAHA NEGARA DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM SENGKETA DI PTUN


Oleh: Aryono Putra[1]


A.      Pengantar
Peranan peradilan administrasi negara adalah besar dalam usaha penyempurnaan aparatur negara melalui tindakan hukum terhadap praktek dan perbuatan para pejabat yang:
a.       Melanggar hukum;
b.      Melanggar UU;
c.       Melanggar kewajiban;
d.      Tidak efisien, melanggar kepentingan umum.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia yang dilaksanakan oleh 4 macam peradilan (peradilan umum, agama, militer dan peradilan tata usaha negara) semuanya berpuncak pada mahkamah agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
Masing-masing badan peradilan tersebut mempunyai susunan dan kekuasaan yang diatur dalam UU tersendiri.
a.       Badan peradilan umum diatur dalam UU no.2/ 1986;
b.      Badan peradilan agama diatur dalam UU no.7/1989;
c.       Badan peradilan militer;
d.      Badan peradilan tata usaha negara diatur dalam UU no.5/1986.
Masing-masing pengadilan dalam lingkungan badan-badan peradilan tersebut mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara sejenis tertentu yang merupakan kompetensi absolut, karenanya apa yang merupakan kompetensi suatu badan peradilan secara mutlak tidak mungkin dilakukan oleh badan peradilan lain.
Salah satu pilar negara hukum adalah lembaga peradilan, di antaranya Peradilan Administrasi atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang secara spesifik berwenang menyelesaikan masalah-masalah administrasi. Keberadaan PTUN di satu sisi dimaksudkan sebagai sarana perlindungan bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang menyimpang, dan di sisi lain sebagai perlindungan bagi Pejabat Tata Usaha Negara agar bertindak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, sehingga terwujud penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik dan adil. Indonesia sebagai negara hukum telah memiliki pilar tersebut. Hanya saja, selama beberapa tahun pelaksanaannya, keberadaan PTUN di Indonesia belum memberikan perlindungan hukum yang maksimal bagi rakyat dan belum mendorong terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan adil. Dengan kata lain, PTUN belum berfungsi dan berperan secara maksimal dalam mendorong tampilnya wajah negara hukum Indonesia yang menggembirakan.
Jauh sebelumnya Paulus E. Lotulung telah mengemukakan beberapa problematika yang terdapat dalam undang-undang tersebut baik mengenai hukum materilnya maupun hukum acaranya. Problematika yang berkenaan dengan hukum materil di antaranya tentang pengertian “pejabat tata usaha negara”, Paulus mempertanyakan apakah termasuk pula badan swasta yang menjalankan pelayanan umum dalam bidang pemerintahan? Apakah termasuk pula Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Mahkamah Agung?[2]  Hal lain yang masih menimbulkan keprihatinan bagi banyak orang adalah banyaknya pejabat yang kalah berperkara dan telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap namun pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan putusan tersebut. Benjamin Mangkudilaga menyebutkan ada sejumlah pejabat yang tidak mematuhi putusan pengadilan, perbandingannya sekitar 60 persen yang melaksanakan dan 40 persen membandel.[3] Terhadap pejabat tata usaha negara yang tidak melaksanakan putusan PTUN itu, berbagai usulan muncul dari para praktisi dan akademisi agar pejabat yang bersangkutan dikenakan sanksi. Ada yang mengusulkan agar pejabat itu dikenakan pidana, dikatagorikan melakukan contemt of court, diumumkan di media massa, atau dikenakan denda.
Seiring dengan permasalahan di atas dan munculnya usulan perubahan UU PTUN tersebut, pada tahun 2004 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Di antara perubahan itu adalah pemberian sanksi bagi pejabat yang tidak mematuhi putusan PTUN, sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (4) dan (5) UU No. 9 Tahun 2004, yakni dalam bentuk penambahan sanksi yang berupa pengenaan denda dan/atau sanksi administratif, serta diumumkan di media massa cetak setempat.[4] Sementara usulan tentang perluasan obyek sengketa dan pengertian pejabat tata usaha negara, tidak mendapatkan respon. Masalah sengketa antarbadan tata usaha negara juga tidak dikemukakan sama sekali.
Diskursus tentang lembaga peradilan tidak dapat dipisahkan dengan konsepsi negara hukum, yang menempatkan peradilan sebagai salah satu pilarnya. Oleh karena itu, perlu disajikan tentang negara hukum, baik berupa wacana yang bersifat universal, maupun negara hukum dalam konteks keindonesiaan.[5]
Negara hukum sebenarnya merupakan konsep terbuka (openbegrip), tetapi pada implementasinya akan dipengaruhi oleh falsafah dan budaya bangsa, ideologi negara, sistem politik, dan lain-lain, sehingga kemudian negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.[6] 
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah suatu negara yang menjadikan atau menempatkan hukum sebagai aturan main (spelregel) dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum yang digunakan untuk menata dan mengatur urusan negara dan pemerintahan adalah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, yang di dalamnya antara lain mengatur perbuatan hukum (rechtshandeling) dan wewenang pemerintahan (bestuursbevoegdheid).
B.       Perbuatan Hukum Pemerintah dan Peradilan Administrasi Dalam Negara Hukum
Dalam ajaran hukum dikenal istilah tindakan hukum, yang menurut R.J.H.M. Huisman, diartikan sebagai tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu,[7]  atau suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban.[8] Istilah tindakan hukum ini semula berasal dari ajaran hukum perdata (het woord rechtshandeling is ontleend aan de dogmatiek van het burgerlijk recht),[9] yang kemudian digunakan juga dalam Hukum Administrasi, sehingga dikenal istilah tindakan hukum administrasi (administratieve rechtshandeling). Menurut H.J. Romeijn, tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi.[10] Secara garis besar, perbuatan hukum pemerintah itu dapat berbentuk perbuatan hukum di bidang peraturan perundang-undangan (regeling), keputusan tata usaha negara (beschikking), dan perbuatan hukum perdata (materiale daad). Dalam konsepsi negara hukum, setiap perbuatan hukum itu harus sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid). Negara hukum juga menghendaki agar ketika terjadi perbuatan hukum yang menyimpang dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau terlanggarnya hak-hak subyek hukum lain, maka perlu diselesaikan melalui lembaga peradilan.
Logemann mengatakan bahwa negara adalah organisasi jabatan.[11] Jabatan adalah suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang.[12] Di antara jabatan-jabatan yang ada dalam suatu negara adalah jabatan pemerintahan atau administrasi negara, yang secara fungsional menyelenggarakan semua kegiatan negara selain pembuatan undang-undang dan peradilan (alle overheidswerkzaamheid niet als wetgeving of rechtspraak).[13] Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati tugas untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan atau melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Jabatan hanyalah fiksi, yang perbuatan hukumnya dilakukan melalui perwakilan (vertegenwoordiging) yaitu pejabat (ambtsdrager).[14] Pejabat bertindak untuk dan atas nama jabatan.
Menurut E. Utrecht, oleh karena diwakili pejabat, maka jabatan itu berjalan. Yang menjalankan hak dan kewajiban yang didukung oleh jabatan ialah pejabat. Jabatan bertindak dengan perantaraan pejabatnya. Jabatan walikota berjalan (menjadi konkret menjadi bermanfaat bagi kota) oleh karena diwakili oleh Walikota.[15] P. Nicolai dan kawan-kawan menyebutkan bahwa kewenangan yang diberikan kepada organ pemerintahan harus dijalankan oleh manusia. Tenaga dan pikiran organ pemerintahan adalah tenaga dan pikiran mereka yang ditunjuk untuk menjalankan fungsi organ tersebut, yaitu para pejabat.[16] Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan tugas dan wewenang, karena pejabat tidak “memiliki” wewenang.  Yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini, Logemann mengatakan bahwa, berdasarkan hukum tata negara, jabatanlah yang dibebani dengan kewajiban, yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Hak dan kewajiban berjalan terus, tidak perduli dengan pergantian pejabat.[17]
Salah satu prinsip negara hukum adalah prinsip legalitas (legaliteitsbeginsel), yang berarti bahwa setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan itu harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam arti hukum, wewenang adalah kekuasaan yang sah berdasarkan hukum. Secara operasional, wewenang adalah kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu,[18] atau kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, sehingga dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.[19] Wewenang pemerintahan ini dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat.[20] Dalam suatu negara hukum ditentukan bahwa baik penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang, maupun pelaksanaan wewenang tunduk pada batasan-batasan yuridis. Mengenai penyerahan wewenang dan sebaliknya, terdapat aturan-aturan hukum tertulis dan tidak tertulis.[21] Ketika kewenangan yang dijalankan oleh pemerintah itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau kewenangan itu disalahgunakan atau diterapkan secara sewenang-wenang yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara, maka kepada warga negara diberikan perlindungan hukum (rechtsbescherming) antara lain melalui Peradilan Administrasi.
C.      Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Di PTUN
Goodgovernance bertalian erat atau mempunyai hubungan interdependent dengan clean government, karena dalam tinjauan filosofis suatu pemerintahan yang baik (good governance) dengan sendirinya akan melahirkan pemerintah yang bersih (clean governmnent), atau dengan kata lain clean government merupakan prasyarat bagi proses suatu good governance. Meskipun demikian, kenyataannya sering ditemukan pemerintahan yang baik belum tentu merupakan pemerintahan yang bersih.[22]
Makna lain dari pengertian pelanggaran hukum ini, penulis berpendapat bahwa pelanggaran terhadap asas atau norma hukum publik secara umum dan hukum adat atau hukum kebiasaan dapat pula dijadikan sebagai tolok ukur pengertian perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat administrasi negara.
            Memang masih terlalu abstrak dan sumir untuk menjadikan asas atau norma hukum publik secara umum sebagai tolok ukur perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat administrasi negara. Selain dikarenakan belum adanya kesepakatan yang secara komprehensif mengenai arti asas atau norma hukum publik itu sendiri terutama dalam hal penegakan hukum administrasi negara, juga untuk menerapkan dalam praktek masih terasa sulit sebab untuk mengukur kapan mendahulukan keadilan daripada kepastian hukum atau sebaliknya.
            Untuk mengetahui maksud asas dan norma hukum publik ini, penulis berangkat dari pengertian asas dan norma itu sendiri. Menurut W.J.S. Poerwadarminta, pengertian asas  adalah: (1) Dasar, alas, pondamen; misalnya : batu yang baik untuk asas rumah; (2) Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya); misalnya : bertentangan dengan asas-asas hukum pidana, pada asasnya saya setuju dengan usul saudara; (3) Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya); misalnya: membicarakan asas dan tujuan perserikatan.[23]
Beranjak dari pengertian asas tersebut, Sri Soemantri berpendapat bahwa arti nomor dualah yang lebih tepat dalam kaitannya dengan hukum, karena dengan demikian akan ditemukan kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir atau berpendapat, misalnya hukum keperdataan, hukum kepidanaan, hukum tata negara dan hukum administrasi negara atau hukum tata pemerintahan.[24]
Rumusan lain dari asas itu sendiri, menurut C.W. Patonadalah : “A principle is the broad reason, which lies at the base of a rule of law” (artinya : Asas ialah  suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari adanya suatu norma hukum).[25]
Terhadap pendapat tersebut, Mahadi mengkritisinya dengan menyatakan bahwa seolah-olah tiap norma hukum dapat dikembalikan kepada suatu asas, padahal dalam praktek terdapat norma-norma hukum yang tidak dapat ditelusuri bagaimana bunyi asas yang mendasarinya, semisal : norma hukum positif dalam bidang lalu-lintas, yang menyuruh pemakai jalan umum mempergunakan bagian kiri dari jalan itu. Dengan demikian norma hukum ini sulit dicarikan  asasnya, tetapi kalau ia sudah menjadi norma hukum maka norma hukum itu sendirilah yang berfungsi sebagai asas.
Menurut Rosjidi Ranggawidjaja pula, norma hukum ini diperlukan keberadaannya;[26] (1) Tidak semua kepentingan atau tata tertib telah dilindungi atau diatur oleh ketiga norma tadi (agama, kesusilaan, dan kesopanan). Misalnya norma etika tidak mengatur hal-hal tentang gaji, lalu-lintas, pajak, pencatatan, perkawinan, dsb; (2) Sanksi-sanksi pelanggaran terhadap norma-norma etika bersifat psychis, sangat abstrak; sedangkan sanksi terhadap pelanggaran norma hukum bersifat physik, dan nyata (kongkrit); (3) Sifat memaksanya sangat jelas dan dapat dipaksakan oleh alat negara (pemerintah), sedangkan norma etika tidak dapat dipaksakana oleh pemerintah (hanya berupa dorongan dari dalam diri pribadi manusia).
            Kaitan asas-asas dan norma-norma dengan perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat administrasi negara adalah pelanggaran hukum yang dimaksud melanggar ketentuan asas-asas atau norma-norma hukum publik. Pengertian asas-asas hukum publik ini menurut penulis adalah asas hukum publik secara umum. Sebagaimana penulis pahami, dalam hukum publik ada beberapa asas yang sering dikemukakan oleh para pakar hukum, diantaranya asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behorlijk bestuur atau the general principles of good administration) dalam hukum administrasi dan asas-asas hukum nasional dalam hukum publik pada umumnya.
                Makna asas-asas hukum publik yang pertama atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) adalah “ asas-asas hukum tidak tertulis yang harus diperhatikan oleh badan atau pejabat administrasi negara dalam melakukan tindakan hukum yang akan dinilai kemudian oleh hakim administrasi” (sebagaimanaOlden Bidara mengutip pandangan dari F.H. Van der Burg danG.J.M. Cartigny dalam Olden Bidara.[27]
            Karena AAUPB ini merupakan asas hukum, maka AAUPB bukan merupakan kecenderungan etis dan bukan pula merupakan kecenderungan moral bagi pejabat administrasi yang menjalankan roda pemerintahan. Dikatakan demikian karena menurut S.F Marbun, etika sebagai moralitas fokusnya adalah huku, sedangkan moral pejabat administrasi negara fokusnya adalah pada karakter dan sifat-sifat pejabat administrasi negara tersebut secara individual yang tidak terdapat di dalam peraturan-peraturan hukum.
Artinya, hanya ditujukan kepada sikap batin pejabat administrasi negara untuk memiliki budi pekerti yang luhur, memiliki rasa malu, rasa bersalah dan lain-lain. Sanksinya, hanya bersifat intern dengan mengandalkan pada iktikad baik, kesadaran etis dan nilai-nilai moral pejabat administrasi negara tadi. Dengan kata lain, AAUPB ditegaskan adalah bagian dari hukum karena arahannya ditujukan kepada sikap lahir badan atau pejabat administrasi negara dengan disertai adanya beban hak dan kewajiban yang bersifat memaksa dan sanksi yang tegas serta konkrit bagi yang melanggarnya.[28]
Selain itu, AAUPB ditinjau dari perspektif filsafat hukum dapat dikatakan menyangkut kehidupan yang bersifat ekstern dari pejabat administrasi karena lebih cenderung sebagai penjabaran dari suatu perjanjian yang dapat diserahkan atau dipindahkan kepada pejabat administrasi lainnya, sehingga arahannya lebih ditujukan kepada kehidupan yang bersifat ekstern.[29] Jadi menurut S.F. Marbun, AAUPB salah satu fungsinya adalah: sebagai arahan atau patokan bagi pelaksanaan wewenang administrasi negara untuk memberikan dan menentukan batas-batas manakah yang harus diperhatikan oleh suatu jabatan umum secara hukum, maka kita harus berorientasi kepada peraturan dan asas-asas tatanan hukum, karena hanya dengan patokan-patokan hukum tersebut kepatuhan terhadap batas-batas jabatan umum itu dapat dipaksakan, bukan kepada apa yang dapat diharapkan dari kesadaran dan keinsyafan pribadi pemegang jabatan tersebut.
                AAUPB ini pada awalnya dikemukakan oleh Crince Le Roy, yang di Indonesia kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh Kuntjoro Purbopranoto. Kuntjoro Purbopranoto mengutip tulisan Crince Le Roy, dan menambahkan pendapatnya sendiri sehingga menjadi tiga belas asas yang dikandung dalam AAUPB, yaitu;[30] Bandingkan Philipus Hadjon, dalam Paulus Effendie Lotulung,[31] lihat pula S.F. Marbun:[32] (1) Asas kepastian hukum (principle of legal security); (2) Asas keseimbangan (principle of proportionality); (3) Asas bertindak cermat (principle of carefullness); (4) Asas motivasi untuk setiap keputusan pejabat administrasi/ tata usaha negara (priciple of motivasion); (5) Asas tidak boleh mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of competence); (6) Asas-Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality); (7) Asas permainan yang layak (principle of fair play); (8)Asas keadilan atau kewajaran (principle of arbitrariness); (9) Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting reised expectation); (10) Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequence of unnulled decisision); (11) Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life); (12)Asas kebijaksanaan (principle of sapiently); (13) Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
Ketiga belas asas di atas, yang murni berasal dari Crince Le Roy adalah asas-asas yang tersebut pada butir (4), (5), (6), (8), (9), (10), dan (11). Hal ini pun dirangkumnya dari yurisprudensi peradilan biasa dan bukan dari peradilan administrasi negara, karena peradilan administrasi negara ketika itu baru berlaku di Belanda pada tahun 1976. Asas kepastian hukum: (1) asas keseimbangan; (2) asas bertindak cermat; (3) dan asas permainan yang layak; (7) berasal dari G.J. Wiarda. Selanjutnya asas kebijaksanaan (12) dan asas penyelenggaraan kepentingan umum (13), merupakan tambahan dari Kuntjoro Purbopranoto. Macam-macam asas yang termasuk dalam ruang lingkup “Algemene Beginselen van Berhoorlijk Bestuur” tersebut, kemudian oleh para pakar hukum administrasi negara di Belanda secara akademis dikelompokkan menjadi asas formal dan asas materiil. Menurut Van der Vlies, asas-asas formal meliputi : asas tujuan yang jelas, asas organ/lembaga yang tepat, asas perlunya peraturan, asas dapat dilaksanakan, dan asas konsensus. Sedangkan asas-asas materiil meliputi : asas tentang terminologi dan sistematika yang benar, asas tentang dapat dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum, dan asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individu.[33]
Lebih lanjut mengenai AAUPB tersebut, Pasal 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah menjadikan asas-asas hukum publik menjadi suatu norma hukum publik. Ketentuan dalam Pasal 3 itu menyatakan bahwa Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara (AAUPN) meliputi: (1) Asas Kepastian Hukum; (2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; (3) Asas Kepentingan Umum; (4) Asas Keterbukaan; (5) Asas Proporsional; (6) Asas Profesional; dan (7) Asas Akuntabilitas.
            Ketujuh asas tersebut menurut Penjelasan Pasal 53 ayat (2) butir b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 disebut sebagai AAUPB. Penulis tidak sepakat mengenai Pengertian AAUPB menurut undang-undang ini, karena pada dasarnya AAUPB bersifat tidak hanya tertulis dan tidak terikat dalam beberapa asas saja. Menurut penulis AAUPB sebagai hukum tidak tertulis tumbuh dan berkembang secara pesat karena sifatnya yang abstrak dan dinamis yang dapat berubah cepat mengikuti perkembangan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan administrasi negara.
Kelebihan ke tujuh asas ini bila dibandingkan dengan AAUPB yang dikemukakan oleh Crince Le Roy dan dikembangkan oleh Kuntjoro Purbopranoto, pada dasarnya ke tujuh asas tersebut merangkum dari ke tiga belas asas AAUPB, bahkan menurut penulis asas-asas umum penyelenggaraan negara ini bersifat lebih luas karena ada satu asas yang tidak ada dalam ke tiga belas AAUPB yaitu asas tertib penyelenggaraan negara dan asas akuntabilitas.
Tabel: Perbandingan Antara Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara Dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
AAUPN UU No.28 Tahun 1999
(menurut UU No. 5 Tahun 1986 Jis UU No.9 Tahun 2004 dn UU No. 51 Tahun 2009 disebut AAUPB)
AAUPB menurut Crince Le Roy, G.J. Wiarda, dan Kuntjoro Purbopranoto
Asas kepastian hokum
Asas kepastian hukum, Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal
Asas tertib penyelenggaraan negara
Asas kepentingan umum
Asas penyelenggaraan kepentingan umum
Asas keterbukaan
Asas menanggapi penghargaan yang wajar
Asas proporsional
Asas keseimbangan, Asas kesamaan dalam mengambil keputusan, Asas permainan yang layak, Asas keadilan atau kewajaran, Asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi, Asas kebijaksanaan.
Asas professional
Asas bertindak cermat, Asas motivasi untuk setiap keputusan pejabat administrasi, Asas tidak boleh mencampur adukan kewenangan.
Asas akuntabilitas

            Selain itu, dalam hukum publik dikenal juga asas-asas hukum nasional. Asas-asas ini artinya berlaku secara umum, terutama dalam lapangan hukum publik. Sebagaimana rumusan hasil Seminar Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional tanggal 22-24 Mei 1995 yang diadakan oleh BPHN di Jakarta, maka diperoleh kesimpulan bahwa dengan memperhatikan pula hasil Seminar BPHN Tahun 1989 Tentang Asas-asas Hukum Nasional, maka dapat diidentifikasi Asas-asas Hukum Dasar yang terkandung dalam UUD 1945 antara lain sebagai berikut: Dalam Pembukaan; (1) Asas Kebebasan yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan; (2) Asas bahwa Indonesia negara pejuang; (3) Asas pengakuan atas Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa; (4) Asas mengayomi bangsa dan tanah air; (5) Asas memajukan kesejahteraan umum; (6) Asas mencerdaskan kehidupan bangsa; (7) Asas ikut menertibkan dunia; (8) Asas negara Pancasila; (9) Asas kebebasan memeluk Agama; (10) Asas kemanusiaan yang adil dan beradab; (11) Asas Kebangsaan; (12) Asas Bhineka Tunggal Ika; (13) Asas musyawarah untuk mufakat; (14) Asas keadilan sosial.
Berdasarkan hasil seminar tersebut, fungsi Asas-asas Hukum Dasar itu adalah mengarahkan dan sebagai pangkal tolak bagi hukum positif dan melekatkan kekuatan hukum materiil pada norma-norma hukum. Berkenaan dengan asas-asas hukum ini pula, penulis melihat adanya kesamaan yang erat dengan makna konsep good governance. Keterkaitan ini dapat diketahui dengan memahami prinsip-prinsip utama dari good governance itu sendiri. Unsur-unsur utama dari good governance pada intinya ada lima hal yaitu akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (openess), aturan hukum (rule of law), dan jaminan fairness atau a level playing field (perlakuan yang adil atau perlakuan kesetaraan).
D.      Penutup
            Berdasarkan uraian baik secara teoritis maupun analisis yuridis diatas, menurut hemat penulis makna perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat administrasi negara dalam hukum administrasi negara adalah perbuatan hukum publik bersegi satu (vertikal) dan perbuatan hukum publik bersegi dua (horisontal) yang dilakukan oleh badan atau pejabat administrasi negara melanggar hukum berdasarkan putusan lembaga peradilan lain (diluar peradilan administrasi negara (PTUN)) yang sudah in kracht van gevijsde, yurisprudensi, asas-asas hukum publik baik asas-asas umum pemerintahan yang baik atau asas-asas umum penyelenggaraan negara maupun asas-asas hukum nasional, hukum kebiasaan atau hukum adat, dan hak asasi manusia.
Dengan demikian untuk tertibnya teknis dan administrasi peradilan serta integrasi, effektifitas dan effisiensi penegakkan hukum administrasi negara kedepannya perlu direvisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang PTUN, terutama mengenai kewenangan peradilan administrasi negara (PTUN) sesuai philosopisnya dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara yaitu dengan menjadikan “perbuatan hukum publik oleh badan atau pejabat administrasi yang melanggar hukum” sebagai objek sengketa di peradilan administrasi negara (PTUN).




























[1] Penulis sedang menyelesaikan studi Program Pascasarjana S2 Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
[2] Paulus E. Lotulung, Problematika PTUN, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi Negara di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 13 Januari 1995, hlm. 7
[3] Farum Keadilan Nomor 22 Tahun II, 17 Pebruari 1994, hlm. 24
[4] Meskipun perubahan sanksi ini dianggap “kemajuan”, namun dalam implementasinya masih mengandung banyak kendala. Lihat “Jurnal Magister Hukum” Vol.1 No.1 Januari 2005, hlm. 108-111
[5] Untuk mengakses prinsip-prinsip dan unsur-unsur yang bersifat keindonesiaan dalam penelitian ini akan merujuk antara lain pada, Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1097, Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi UI, Jakarta, 1990, dan lain-lain. Sedangkan untuk mengakses prinsip-prinsip umum negara hukum akan merujuk pada buku-buku yang menyajikan pembahasan negara hukum seperti, E.M.A. Hirsch Ballin, Rechtsstaat&Beleids, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1991, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma BV. Utrecht, 1995, J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door De Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996, AP Le Sueur dan JW Herberg, Constituonal & Administrative Law, Cavendish Publishing Limited, London, 1995, P.J.P. Tak, Rechtsvorming in Nederland, Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1991, P. de Haan, et. al., Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, Kluwer, Deventer, 1986, dan lain-lain.
[6] Muhammad Tahir Azhary, op. cit., hlm. 63. Setelah Amandemen UUD 1945, eksistensi Indonesia sebagai negara hukum telah memiliki sandaran konstitusional yang pasti setelah dengan tegas disebutkan dalam batang tubuh UUD 1945, yakni dalam Pasal 1 ayat (3); “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebelum Amandemen, pernyataan bahwa Indonesia tergolong negara hukum hanya disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945, yang diperdebatkan oleh banyak ahli Hukum Tata Negara mengenai validitas dan kekuatan hukumnya.
[7] R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, Een Inleiding, Kobra, Amsterdam, tt., hlm. 13.
[8] J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door De Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996, hlm. 137
[9]A.D. Belinfante, Kort Begrip van het Administratief Recht, Samsom Uitgeverij, Alphen aan den Rijn, 1985, 1985, hlm. 49. Dalam bidang perdata, tindakan hukum merupakan tahap awal lahirnya hubungan hukum (rechtsbetrekking) yaitu suatu hubungan yang ada relevansinya dengan hukum atau hubungan yang dapat menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hubungan hukum dalam perdata ini lahir dari adanya kehendak dan pernyataan kehendak (wil en wilsverklaring), baik pernyataan itu dikemukakan secara tegas maupun secara diam-diam (uitdrukkelijke en stilzwijgende verklaring) di antara pihak-pihak dalam kedudukan yang sejajar. Lebih lanjut mengenai tindakan hukum keperdataan ini dapat dilihat pada, E.M. Mijers, de Algemene Begrippen van het Burgerlijk Recht, Universitaire Pers Leiden, Leiden, 1948, hlm. 211-225.
[10] H.J. Romeijn, Administratiefrecht, Hand en Leerboek, Noorman’s Periodieke Pers n.v., Deen Haag, 1934, hlm. 89.
[11] Logemann, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954, hlm. 88
[12] N.E. Algra en H.C.J.G. Janssen, Rechtsingang, een Orientatie in het Recht, H.D. Tjeenk Willing, bv., Groningen, 1974, hlm. 175
[13] Pemerintah atau administrasi ini memiliki dua pengertian, struktural dan fungsional, P.M.B. Schrijvers en H.C.M. Smeets, Staats-en Bestuursrecht, Tiende Druk, Wolters-Noordhoff, Groningen, 2003, hlm. 169 dan P. de Haan, et. al., op. cit., hlm. 6. Buku-buku Hukum Administrasi lain yang membahas dua pengertian pemerintahan ini dapat lihat misalnya Philipus M. Hadjon, et.al, op. cit., hlm. 6, A.M. Donner, Nederlands Bestuursrecht,  Samsom H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, 1987, hlm. 15,  Algemene Bepalingen van Administratief Recht, Samsom H.D. Tjeenk Willink bv., Alphen aan den Rijn, 1984, hlm. 1, C.J.N. Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samsom H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, 1984,  hlm. 13, dan lain-lain.
[14] Frederik Robert Bothlingk, Het Leerstuk der Vertegenwoordiging en Zijn Toepassing op Ambtsdragers in Nederland en in Indonesia, Juridische Boekhandel en Uitgeverij A. Jongbloed & Zoon ‘s-Gravenhage, 1954, hlm.32.
[15] Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hlm. 202
[16] P. Nicolai, et. al., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hlm. 24-25
[17] Logemann, op. cit., hlm. 89
[18] P. Nicolai, et. al., op. cit,  hlm. 4
[19] F.P.C.L. Tonnaer, Legaal Besturen; Het Legaliteitsbeginsel, Toetssteen of Struikelblok ?, Tulisan dalam Bestuur en Norm, Bundel Opstellen Opgedragen aan R. Crince Le Roy, Kluwer–Deventer, 1986, hlm. 265
[20] Penjelasan tentang atribusi, delegasi, dan mandat, dapat dilihat pada, H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, op. cit., hlm. 129, B. de Goede, op. cit., hlm. 56, dan P.J.P. Tak, op. cit.,hlm. 99-103
[21] F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en Administratief Recht, Samsom H.D Tjeenk Willing, Alphen aan den Rijn, 1985, hlm. 29
[22] SF. Marbun, 2001. Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak dalam Menjelmakan Pemerintahan Yang Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Unpad, Bandung hlm. 275.
[23] W.J.S. Poerwadarminta, 2002. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 60-61.
[24] Sri Soemantri, 1995,  Proses Perumusan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum dalam Periode Tahun 1908 sampai dengan sekarang, Makalah disampaikan dalam Seminar untuk memperingati 50 Tahun Indonesia Merdeka, diselenggarakan oleh BPHN pada tanggal 22-24 Mei 1995, dipublikasikan dalam Majalah Hukum Nasional, BPHN, Jakarta, hlm. 136.
[25]  Mahadi, 2003, Falsafah Hukum : Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, hlm. 122.
[26] Rosjidi Ranggawidjaja, 1998,  Pengantar Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 24.
[27] Olden Bidara, 1994. Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak Dalam Teori Dan Praktek Pemerintahan, Dalam Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Penyusun Paulus Effendie Lotulung, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 80.
[28]  Ibid, SF. Marbun (2001),  hlm. 56-57.
[29]  Op.Cit, SF. Marbun (2001),  hlm. 58-59.
[30] Kuntjoro Purbopranoto, 1981, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, hlm. 28-29.
[31] Ateng Syafrudin, 1994. “Butir-butir Bahan Telaahan Tentang Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Untuk Indonesia”, Dimuat dalam Paulus Effendie Lotulung (Ed), Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 106.
[32] Ibid, SF. Marbun (2001), hlm. 166.
[33] Bagir Manan, 1992,  Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, IND-HILL.CO, Jakarta, hlm. 19-20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar