Powered By Blogger

Sabtu, 07 Januari 2012

Sabtu, 19 November 2011

HAN DLM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

FUNGSI DAN PERANAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Oleh : ARYONO PUTRA[1]

A.    Latar Belakang
Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan. Saat ini korupsi menjadi musuh bersama setiap masyarakat Indonesia yang menginginkan kehidupan yang sejahtera dan kemandirian bangsa. Korupsi merupakan masalah serius dikarenakan dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas.
Di Indonesia praktek korupsi sudah menjadi pengetahuan umum dan menggejala secara meluas dalam kehidupan masyarakat tidak ada bidang kehidupan yang tidak tercemar Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN), baik dalam skala kecil maupun besar dari pusat pemerintahan sampai ke tingkat kelurahan/desa, meliputi instansi pemerintah maupun swasta.
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, maka tindak pidana korupsi dapat dikatagorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.
Saat ini, korupsi terjadi di seluruh penyelenggara Negara, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Bahkan terjadi hampir di semua institusi resmi seperti BUMN, dan strata sosial politik seperti LSM, partai politik, dan sebagainya. Keadaan sekarang sangat memprihatinkan, karena ditengah maraknya demokrasi, marak pula praktek korupsi.
Korupsi sendiri tidak bisa dipisahkan pada manusia sebagai aktor kegiatan korupsi itu sendiri, setiap manusia memainkan peranan tertentu dan terlibat dalam interaksi.[2] Tetapi secara analitis aktor tersebut dapat dipisahkan dari peranan yang dimainkan serta tindakan yang dilakukannya. Dua orang yang berbeda mungkin akan memainkan peranan yang sama dan sebaliknya dua orang yang sama mungkin juga memainkan peranan yang berbeda.
Trecker,[3] Menegaskan bahwa administrasi negara merupakan suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, yang dikerjakan dalam rangka mencapai tujuan dengan cara memanfaatkan secara bersama orang dan material melalui koordinasi dan kerja sama. Menurut mereka, kegiatan perencanaan, pengorganisasiaan, dan kepemimpinan secara eksplisit termasuk dalam definisi tersebut.
Secara umum Administrasi dapat diartikan sebagai arahan, pemerintah, kegiatan implementasi, kegiatan pengarahan, penciptaan prinsip-prinsip implementasi kebijakan publik, kegiatan analisis, penyeimbangan dan presentasi keputusan, pertimbangan kebijakan, sebagai pekerjaan individual dan kelompok dalam menghasilkan barang dan jasa publik, dan sebagai arena bidang kerja akademis dan teoritis.  
Adapun tugas-tugas administrasi meliputi kegiatan,[4] mengidentifikas kebutuhan; mengidentifikasi dan mendefinisikan kembali (serta meninterpretasi dan menggunakan) tujuan organisasi sebagai tuntunan program dan pelayanan; mengamankan sumber daya keuangan, fasilitas, staf dan berbagai bentuk dukungan lainnya; mengembangkan program dan pelayanan; mengembangkan stuktur dan prosedur organisasi; mengunakan kepemimpinan dalam proses pembuatan evaluasi program dan kepegawaian secara berkesinambungan; dan membuat perencanaan serta melakukan penelitian dan menggunakan kepemimpinan dalam proses perubahan yang dibutuhkan dalam organisasi pelayanan manusia.
Definisi-definisi di atas secara langsung menepis anggapan selama ini bahwa administrasi selalu diartikan sebagai kegiatan ketatausahaan atau berkaitan dengan pekerjaan mengatur file (berkas), membuat laporan administrasi ke pihak atasan, dan sebagainya. Agar lebih meyakinkan lagi, dapat dilihat definisi administrasi dalam The Public Admnistration Dictionary[5] sebagai proses ketika keputusan dan kebijakan diimplementasikan.   
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah Bagaimana Fungsi dan Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia?
C.    Konsepsi Korupsi
Apa yang dimaksud dengan korupsi? Suatu pertanyaan yang tampaknya mudah untuk dijawab namun tidak sesederhana itu. Pengertian korupsi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Menurut ilmu kejahatan, maupun maupun menurut undang-undang. Terlebih dalam perkembangan terakhir, masyarakat internasional termasuk indonesia terdapat kesepakatan untuk saling bekerja sama dalam pemberantasan praktek-praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya deklarasi pemberantasan korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7-11 September 1997 dalam konferensi anti korupsi yang dihadiri oleh 93 negara.[6]
Dilihat dari segi peristilahan, kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin corruptio[7] atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa di eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis; corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie). Dapat diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda ini yang kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia: “korupsi”.
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwardarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: “Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti pengelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.[8]
Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Akan tetapi di Malaysia tidak digunakan kata ’korupsi’, melainkan kata peraturan “anti-kerasukan”. Sering pula Malaysia menggunakan istilah resuah yang tentulah berasal dari bahasa Arab (riswah) menurut kamus Arab-Indonesia, riswah artinya sama dengan korupsi.[9] Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti di simpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang bermacam-ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam-macam pula dan artinya sesuai pula dari segi mana kita mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussen Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas, memmasukan nepotisme sebagai kelompok korupsi dalam klasifikasinya memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya dalam hukum pidana[10] di Indonesia.        
Begitu pula Mubyarto menyorot korupsi dan penyuapan dari segi politik dan ekonomi yang menugutif pendapat Smith sebagai berikut bahwa secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari pada ekomoni. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mana generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai negeri pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten.[11]
 Dari sudut politik, korupsi merupakan faktor yang mengganggu dan mengurangi kredibilitas pemerintah, terutama di kalangan masyarakat terdidik dan generasi muda. Dari sudut ekonomi, korupsi merupakan salah satu faktor ekonomi dengan biaya tinggi yang sangat merugikan negara dan masyarakat. Dari sudut kultural, korupsi merusak moral dan karakter bangsa kita yang sebenarnya mempunyai nilai- nilai luhur.
Di dalam Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001, Pasal 2 korupsi diartikan sebagai “Perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara” dan dalam Pasal 3 dirumuskan korupsi sebagai: “Perbuatan yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”., Dalam praktek, untuk mengetahui adanya unsur-unsur penyalahgunaan kewenangan harus diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi tugas dan wewenang serta tanggung jawab tersangka/terdakwa melakukan atau tidak apa yang menjadi tugas dan wewenangnya tersebut, dan apakah ada prosedur yang tidak dilaksanakan sebagai mana mestinya.
D.    Fungsi dan Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Upaya menegakkan hukum sebagai salah satu pilar demokrasi, paling tidak dipengaruhi oleh empat faktor. Pertama, hukum itu sendiri, baik dalam pengertian substansial dari suatu peraturan perundang-undangan maupun hukum formal untuk menegakkan hukum material. Kedua, profesionalisme aparat penegak hukum. Ketiga, sarana dan pra sarana yang cukup memadai, keempat, adalah presepsi masyarakat terhadap hukum itu sendiri.[12] 
Hubungan hukum Administrasi adalah suatu hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara, yang dalam kehidupan dimasukan dalam tindakan hukum administrasi yang tidak terdapat di dalam hukum perdata,[13] berbeda dengan hukum perdata, hubungan hukum administrasi tidak langsung terjadi dari undang-undang. Hal ini sesuai dengan definisi hukum administrasi, yang mengatakan bahwa hukum administrasi hanya bertalian dengan fungsi pemerintahan. Apabila undang-undang memerintahkan atau melarang (anda harus jujur, anda tidak boleh membunuh) adalah hal ini merupakan perintah, namun kita sulit untuk mempertahankan bahwa di sini dibicarakan mengenai hubungan hukum antara pemerintah (penguasa) di satu pihak, dan warga negara di lain pihak. Lagi pula, hubungan ini sepenuhnya berada di luar badan yang di bebankan kepada penguasa (pemerintahan) dan dijalankan bukan fungsi pemerintahan.  
Hukum Administrasi Negara memiliki fungsi dan peranan dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Fungsi dan peranan Hukum Administrasi Negara tersebut antara lain sebagai berikut :
a.      Pengawasan Hukum terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan
Berdasarkan perspektif hukum, pengawasan itu dilakukan untuk menilai apakah pelaksanaan tugas dan pekerjaan itu telah sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan apakah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai tanpa melanggar norma hukum yang berlaku. Bila pengawasan itu dikaitkan dengan keuangan negara, berarti pengawasan itu dilakukan dalam rangka mengamati dan menilai apakah keuangan itu diperoleh dengan cara yang sah dan dari sumber-sumber yang sah, bagaimana menggunakan keuangan tanpa melanggar norma hukum, dan bagaimana penyelesaian hukumnya ketika terjadi penyalahgunaan keuangan negara.
Secara teoretik dan praktik, pengawasan itu ada yang bersifat intern yaitu pengawasan oleh badan yang secara organisatoris termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri, sedangkan yang bersifat ekstern dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisatoris berada di luar pemerintah. Di samping itu, pengawasan juga dibedakan dalam dua jenis yaitu a-priori dan a-posteriori. Pengawasan a-priori adalah pengawasan yang dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan pemerintah, sedangkan a-posteriori adalah pengawasan yang dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan pemerintah. Selain itu, dikenal pula pengawasan segi hukum (rechtmatigheid) dan segi kemanfaatan (doelmatigheid). Pengawasan dari segi hukum dimaksudkan untuk menilai pertimbangan yang bersifat hukumnya saja (segi legalitas) yaitu segi rechtmatigheid dari perbuatan pemerintah, sedangkan segi kemanfaatan dimaksudkan untuk menilai benar tidaknya perbuatan pemerintah dari segi pertimbangan kemanfaatannya.
Berdasarkan pembagian pengawasan tersebut, dapat disebutkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh peradilan dalam Hukum Administrasi itu mempunyai ciri-ciri. Pertama, ekstern, karena dilakukan oleh suatu badan alau lembaga di luar pemerintahan. Kedua, a-posteriori, karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol. Ketiga, kontrol segi hukum, karena hanya menilai dari segi hukum saja.
  Pengawasan yang dilakukan oleh peradilan tersebut dikenal dengan istilah pengawasan hukum. Suatu pengawasan yang dimaksudkan untuk menilai apakah tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah itu sesuai atau tidak dengan norma hukum yang berlaku (rechtmatigheid atau onrechtmatigheid). Selain itu, ada pula pengawasan politik, yakni pengawasan yang dilakukan oleh badan perwakilan rakyat terhadap pemerintah dalam menggunakan wewenang pemerintahan. Dalam hal ini, pengawasan itu dimaksudkan untuk menilai apakah penggunaan wewenang pemerintahan itu sesuai atau tidak dengan kehendak rakyat. Di samping itu, pengawasan juga dapat dilakukan oleh warga masyarakat terhadap administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Jadi, untuk mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia, maka salah satu caranya adalah dengan meningkatkan pengawasan hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan harus senantiasa mendapat pengawasan baik secara langsung, maupun tidak langsung. Pengawasan langsung terlihat dengan adanya partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam mengawasi pemerintahan terutama dalam pengambilan kebijakan, sedangkan pengawasan tidak langsung terlihat dari adanya peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melaksanakan fungsi pengawasan (controlling) terhadap lembaga eksekutif. Sehingga dengan demikian, praktik korupsi dapat dicegah dan diberantas.
b.      Perwujudan Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Secara historik konsep-konsep tentang cakupan tugas pemerintah ini memang berkembang menurut proses kausalitas  dari bentuk-bentuk negara tertentu.[14] Sondang P. Siagian  mengemukakan adanya tiga bentuk negara yang memberikan peranan dan fungsi yang berbeda bagi pemerintah, yaitu bentuk political State (semua kekuasaan dipegang oleh Raja sebagai pemerintah), bentuk Legal State (pemerintah hanya sebagai pelaksana peraturan) dan bentuk Welfare State (tugas pemerintah diperluas untuk menjamin kesejahteraan umum) dengan discretionary power dan freies ermessen.
Dalam konsep negara hukum yang lama ini dikemukakan ciri-ciri negara hukum oleh Freidrich Julius sebagai berikut:
1.      Adanya perlindungan hak-hak azasi manusia;
2.      Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak azasi manusia itu (Trias Politika);
3.      Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan;
4.      Peradilan administrasi negara dalam perselisihan.[15] 
Untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik (good governance) di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan konsep negara demokrasi yang dipolakan dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. Konsep demokrasi ini sebagai salah satu landasan utama mewujudkan suatu pemerintahan yang baik, mengingat pemerintahan dikatakan demokratis manakala dalam penyelenggaraan pemerintahan senantiasa melibatkan rakyat, serta jaringan pembuatan suatu keputusan melibatkan banyak unit politik, dan prosesnya transparan sehingga rakyat bisa mengontrol ataupun memasukkan inisiatif lewat saluran yang disediakan oleh sistem politik.  
Proses penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan dimaksud menghendaki adanya akuntabilitas, transparansi, terbuka, dan bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ford Foundation sebagai salah satu lembaga yang menjadi pionir program governance, bahwa pemerintah yang efektif tergantung pada legitimasi yang diperoleh dari partisipasi yang berbasis luas, keadilan dan akuntabilitas. Beranjak dari pengertian governance sebagai “cara” atau “penggunaan” atau “pelaksanaan” di atas, dengan demikian good governance mengandung makna suatu cara dan pelaksanaan government yang baik, baik dalam arti tindakan atau perilaku para stakeholder dalam menjalankan pemerintahan (government) berlandaskan pada etika atau moral. 
Suatu pemerintahan yang baik (good governance) akan lahir dari suatu pemerintahan yang bersih (clean government), pemerintahan yang baik (good governance) hanya dapat terwujud, manakala diselenggarakan oleh pemerintah yang baik, dan pemerintah akan baik apabila dilandaskan pada prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Menurut Taliziduhu Ndraha, konsep akuntabilitas berawal dari konsep pertanggungjawaban, konsep pertanggungjawaban sendiri dapat dijelaskan dari adanya wewenang. Wewenang disini berarti kekuasaan yang sah. Menurut Weber ada tiga macam tipe ideal wewenang. Pertama, wewenang tradisional; kedua, wewenang karismatik dan ketiga, wewenang legal rational. Yang ketigalah ini yang menjadi basis wewenang pemerintah. Dalam perkembangannya, muncul konsep baru tentang wewenang yang dikembangkan oleh Chester I. Barnard, yang bermuara pada prinsip bahwa penggunaan wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas (accountability) merupakan suatu istilah yang pada awalnya diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi ditetapkan dan tidak digunakan secara ilegal. Dalam perkembangannya akuntabilitas digunakan juga bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi ekonomi program. Usaha-usaha tadi berusaha untuk mencari dan menemukan apakah ada penyimpangan staf atau tidak, tidak efisien apa tidak prosedur yang tidak diperlukan. Akuntabilitas menunjuk pada institusi tentang “cheks and balance” dalam sistem administrasi.
 Menurut Mardiasmo, transparansi berarti keterbukaan (openness) pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Jadi, untuk mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia, maka salah satu caranya adalah dengan mewujudkan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
c. Reformasi Birokrasi
Belakangan ini, dalam segala aspek yang berhubungan dengan pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih lagi, birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Akan tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi. Ironisnya, sebagian masyarakat Indonesia saat ini, justru merindukan pemerintahan Orde Baru yang dianggap dapat memberikan kemapanan kepada masyarakat, walaupun hanya kemapanan yang bersifat semu.
Menurut Bintan R. Saragih bahwa peranan Hukum Administrasi Negara dalam reformasi birokrasi antara lain :
1.      Semua Undang-Undang yang mengatur birokrasi dan yang ada hubungannya dengan birokrasi harus sinkron atau harmoni dengan UU No.3 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Demikian juga semua peraturan perundang-undangan yang melaksanakan Undang-undang tersebut harus taat asas atau tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.
2.      Urutan sesuai dengan ketentuan Hierarki UU No.12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-Undangan, yaitu:
a.          Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.          Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.      Peraturan Pemerintah;
e.          Peraturan Presiden;
f.          Peraturan Daerah Provinsi; dan;
g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kondisi seperti inilah yang dikehendaki oleh good governance dengan rumusan: “melaksanakan hukum untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan tidak terlalu banyak regulasi”. Dengan adanya Hukum Administrasi Negara seperti itu, maka reformasi birokrasi dapat diprediksi dengan tersedianya peraturan dengan tata laksananya yang jelas.
Dengan ditentukan PNS bebas partai politik atau netralisasi PNS dari partai politik dan golongan, dan membangun PNS yang profesional melalui Pasal 3 UU No.43 Tahun 1999 , maka Hukum Administrasi Negara yang akan dibentuk untuk mengatur reformasi birokrasi harus secara jelas menentukan PNS netral dari politik dan golongan dan mereka harus profesional. Artinya, PNS yang diangkat menduduki jabatan-jabatan politik karena pilihan politik (kecuali menjadi Menteri) seperti: menjadi Hakim Agung, anggota DPR, DPD, DPRD, KPU, KOMNAS HAM, Kepala Daerah, dan sebagainya harus diberhentikan sebagai PNS saat ditetapkan pengangkatan mereka menduduki jabatan tersebut. Dengan demikian PNS tetap profesional.
Bila UU No.43 Tahun 1999 melalui Pasal 17 ayat (2) telah menentukan bahwa pengangkatan PNS dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan maka Hukum Administrasi Negara yang dibentuk untuk itu harus mengacu pada ketentuan tersebut. Bila Hukum Administrasi Negara sudah mengatur secara baik, maka harus dilaksanakan secara konkrit dalam seleksi pejabat birokrasi. Inilah yang disebut dalam good governance sebagai “melaksanakan hak asasi manusia” dan mencegah “terlalu banyak regulasi pada birokrasi sehingga menghalangi berfungsinya mekanisme pasar”.
Reformasi birokrasi dapat pula dicermati dalam karya Max Weber tentang konsep birokrasi ideal yang secara singkat disebutkan oleh Miftah Toha dalam bukunya. Max Weber mengatakan bahwa birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada pejabat atasan dan bawahan dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil; Ketiga, tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam keadaan tertentu; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.[16]  
Perlunya menegakkan Hukum Administrasi Negara untuk mencegah dan memberantas praktik korupsi di Indonesia. Banyak peraturan perundang-undangan yang terbentuk yang mengatur secara khusus pemberantasan tindak pidana korupsi antara lain:
  1. UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
  2. UU No.30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  3. UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  4. UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
  5. UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
E.     Kesimpulan
Jadi, dapat disimpulkan bahwa di Indonesia praktek korupsi sudah menjadi pengetahuan umum dan menggejala secara meluas dalam kehidupan masyarakat tidak ada bidang kehidupan yang tidak tercemar Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN), baik dalam skala kecil maupun besar dari pusat pemerintahan sampai ke tingkat kelurahan/desa, meliputi instansi pemerintah maupun swasta.
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, maka tindak pidana korupsi dapat dikatagorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Hukum Administrasi Negara memiliki fungsi dan peranan dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Fungsi dan peranan Hukum Administrasi Negara tersebut antara lain: Pengawasan hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan, perwujudan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, reformasi birokrasi, serta menegakkan Hukum Administrasi Negara melalui peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA

A.D.Belinfante, Boerhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, (Binacipta: Cetakan Pertama Oktober 1983).

Andrew Dunsen, 2010, Cutback Managemen in Public Bureaucracies: Popular Teories and Observed Outcomes in Whitehall, 1 edition, (London: Cambridge University Press; 2010).

Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahananya, Gramedia Pustaka Utama.

Dani Krisnawati, (dkk) 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena: Ilmu dan Amal, Jakarta.

Fred W. Riggs (Editor), 1971, Administrasi Pembangunan: Batas-batas, Strategi Pembangunan Kebijakan dan Pembaharuan Administrasi, Cetakan 2 April 1994, Raja Grafindo, Jakarta. (Penerjemah: Luqman Hakim, Frontiers of Developmen Administration: 1971, Duke University Press).       

Fockemma, SJ. Andreae, 1995 Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Groningen-Djakarta: Bij J.B Wolter Uitgeversmaatschappij N.V.

H. George Frederickson, 1984, Administasi Negara Baru, Cetakan keempat, Jakarta; LP3ES.

Hessel Nogi s. Tangkilisan, 2003, Kebijakan Publik yang Membumi, (Yogyakarta: Lukman Offset & YPAPI, 2003).

Internasional Conference Against Corruption, “Declaration of the 8th International Conference Against Corruption; signed in Lima, Peru, 11 September 1997.

Oemar Seno Adji, 1966, Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Seruling Masa.

Soerjono Soekanto, 1985, Efektifitas Hukum dan Peran Sanksi, Remaja Karya, Jakarta.

SF. Marbun, Moh. Mahfud MD, 2000, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Cetakan Kelima: Februari 2009, Yogyakarta.  

Trecer, 1977, Social Work Administration: Principles and Practices, (Associated Press, 1977).  

W.J.S Poerwardarminta, 1992, Kamus Umum Bahasa Indonesia.


[1]  Penulis Sedang Menyelesaikan Program Pascasarjana S2 Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. 
[2] Fred W. Riggs (Editor), Administrasi Pembangunan: Batas-batas, Strategi Pembangunan Kebijakan dan Pembaharuan Administrasi, Cetakan 2 April 1994, Raja Grafindo, Jakarta. (Penerjemah: Luqman Hakim, Frontiers of Developmen Administration: 1971, Duke University Press). hlm. 101.       
[3] Trecer, Social Work Administration: Principles and Practices, (Associated Press, 1977), hlm. 320.
[4] Andrew Dunsen, Cutback Managemen in Public Bureaucracies: Popular Teories and Observed Outcomes in Whitehall, 1 edition, (London: Cambridge University Press; 2010), hlm. 124. 
[5] Hessel Nogi s. Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi, (Yogyakarta: Lukman Offset & YPAPI, 2003), hlm. 1.  
[6] Internasional Conference Against Corruption, “Declaration of the 8th International Conference Against Corruption; signed in Lima, Peru, 11 September 1997. 
[7] Fockemma, SJ. Andreae, 1995 Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Groningen-Djakarta: Bij J.B Wolter Uitgeversmaatschappij N.V sebagaimana di kutip Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahananya, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 7. 
[8] W.J.S Poerwardarminta, 1992, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 524.
[9] Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 8
[10] Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto Dan Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena: Ilmu dan Amal, Jakarta, hlm. 34.   
[11] Ibid, hlm. 41.
[12] Soerjono Soekanto, 1985, Efektifitas Hukum dan Peran Sanksi, Remaja Karya, Jakarta, hlm. 27. 
[13] A.D.Belinfante, Boerhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, (Binacipta: Cetakan Pertama Oktober 1983), hlm. 33. 
[14] Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan, PT. Gunung Agung, Jakarta, hlm. 101-104. (dikutif SF. Marbun, Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Cetakan Kelima: Februari 2009, Yogyakarta, hlm. 41). 
[15] Oemar Seno Adji, Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Seruling Masa, 1966, hlm. 24. Ibid, SF. Marbun, Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Cetakan Kelima: Februari 2009, Yogyakarta, hlm. 44. 
[16] Lihat juga H. George Frederickson, Administasi Negara Baru, Cetakan keempat, Jakarta; LP3ES, 1984, hlm. 98.  

SISTEM PERADILAN ADMINISTRASI

ARTI PENTING ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK (AAUPB) BAGI HAKIM TATA USAHA NEGARA DAN IMPLEMENTASINYA
DALAM SENGKETA DI PTUN


Oleh: Aryono Putra[1]


A.      Pengantar
Peranan peradilan administrasi negara adalah besar dalam usaha penyempurnaan aparatur negara melalui tindakan hukum terhadap praktek dan perbuatan para pejabat yang:
a.       Melanggar hukum;
b.      Melanggar UU;
c.       Melanggar kewajiban;
d.      Tidak efisien, melanggar kepentingan umum.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia yang dilaksanakan oleh 4 macam peradilan (peradilan umum, agama, militer dan peradilan tata usaha negara) semuanya berpuncak pada mahkamah agung sebagai pengadilan negara tertinggi.
Masing-masing badan peradilan tersebut mempunyai susunan dan kekuasaan yang diatur dalam UU tersendiri.
a.       Badan peradilan umum diatur dalam UU no.2/ 1986;
b.      Badan peradilan agama diatur dalam UU no.7/1989;
c.       Badan peradilan militer;
d.      Badan peradilan tata usaha negara diatur dalam UU no.5/1986.
Masing-masing pengadilan dalam lingkungan badan-badan peradilan tersebut mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara sejenis tertentu yang merupakan kompetensi absolut, karenanya apa yang merupakan kompetensi suatu badan peradilan secara mutlak tidak mungkin dilakukan oleh badan peradilan lain.
Salah satu pilar negara hukum adalah lembaga peradilan, di antaranya Peradilan Administrasi atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang secara spesifik berwenang menyelesaikan masalah-masalah administrasi. Keberadaan PTUN di satu sisi dimaksudkan sebagai sarana perlindungan bagi rakyat dari tindakan pemerintah yang menyimpang, dan di sisi lain sebagai perlindungan bagi Pejabat Tata Usaha Negara agar bertindak sesuai dengan koridor hukum yang berlaku, sehingga terwujud penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik dan adil. Indonesia sebagai negara hukum telah memiliki pilar tersebut. Hanya saja, selama beberapa tahun pelaksanaannya, keberadaan PTUN di Indonesia belum memberikan perlindungan hukum yang maksimal bagi rakyat dan belum mendorong terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan adil. Dengan kata lain, PTUN belum berfungsi dan berperan secara maksimal dalam mendorong tampilnya wajah negara hukum Indonesia yang menggembirakan.
Jauh sebelumnya Paulus E. Lotulung telah mengemukakan beberapa problematika yang terdapat dalam undang-undang tersebut baik mengenai hukum materilnya maupun hukum acaranya. Problematika yang berkenaan dengan hukum materil di antaranya tentang pengertian “pejabat tata usaha negara”, Paulus mempertanyakan apakah termasuk pula badan swasta yang menjalankan pelayanan umum dalam bidang pemerintahan? Apakah termasuk pula Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Mahkamah Agung?[2]  Hal lain yang masih menimbulkan keprihatinan bagi banyak orang adalah banyaknya pejabat yang kalah berperkara dan telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap namun pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan putusan tersebut. Benjamin Mangkudilaga menyebutkan ada sejumlah pejabat yang tidak mematuhi putusan pengadilan, perbandingannya sekitar 60 persen yang melaksanakan dan 40 persen membandel.[3] Terhadap pejabat tata usaha negara yang tidak melaksanakan putusan PTUN itu, berbagai usulan muncul dari para praktisi dan akademisi agar pejabat yang bersangkutan dikenakan sanksi. Ada yang mengusulkan agar pejabat itu dikenakan pidana, dikatagorikan melakukan contemt of court, diumumkan di media massa, atau dikenakan denda.
Seiring dengan permasalahan di atas dan munculnya usulan perubahan UU PTUN tersebut, pada tahun 2004 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN telah diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Di antara perubahan itu adalah pemberian sanksi bagi pejabat yang tidak mematuhi putusan PTUN, sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (4) dan (5) UU No. 9 Tahun 2004, yakni dalam bentuk penambahan sanksi yang berupa pengenaan denda dan/atau sanksi administratif, serta diumumkan di media massa cetak setempat.[4] Sementara usulan tentang perluasan obyek sengketa dan pengertian pejabat tata usaha negara, tidak mendapatkan respon. Masalah sengketa antarbadan tata usaha negara juga tidak dikemukakan sama sekali.
Diskursus tentang lembaga peradilan tidak dapat dipisahkan dengan konsepsi negara hukum, yang menempatkan peradilan sebagai salah satu pilarnya. Oleh karena itu, perlu disajikan tentang negara hukum, baik berupa wacana yang bersifat universal, maupun negara hukum dalam konteks keindonesiaan.[5]
Negara hukum sebenarnya merupakan konsep terbuka (openbegrip), tetapi pada implementasinya akan dipengaruhi oleh falsafah dan budaya bangsa, ideologi negara, sistem politik, dan lain-lain, sehingga kemudian negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.[6] 
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa negara hukum adalah suatu negara yang menjadikan atau menempatkan hukum sebagai aturan main (spelregel) dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum yang digunakan untuk menata dan mengatur urusan negara dan pemerintahan adalah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, yang di dalamnya antara lain mengatur perbuatan hukum (rechtshandeling) dan wewenang pemerintahan (bestuursbevoegdheid).
B.       Perbuatan Hukum Pemerintah dan Peradilan Administrasi Dalam Negara Hukum
Dalam ajaran hukum dikenal istilah tindakan hukum, yang menurut R.J.H.M. Huisman, diartikan sebagai tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu,[7]  atau suatu tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban.[8] Istilah tindakan hukum ini semula berasal dari ajaran hukum perdata (het woord rechtshandeling is ontleend aan de dogmatiek van het burgerlijk recht),[9] yang kemudian digunakan juga dalam Hukum Administrasi, sehingga dikenal istilah tindakan hukum administrasi (administratieve rechtshandeling). Menurut H.J. Romeijn, tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi.[10] Secara garis besar, perbuatan hukum pemerintah itu dapat berbentuk perbuatan hukum di bidang peraturan perundang-undangan (regeling), keputusan tata usaha negara (beschikking), dan perbuatan hukum perdata (materiale daad). Dalam konsepsi negara hukum, setiap perbuatan hukum itu harus sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid). Negara hukum juga menghendaki agar ketika terjadi perbuatan hukum yang menyimpang dan menimbulkan kerugian bagi pihak lain atau terlanggarnya hak-hak subyek hukum lain, maka perlu diselesaikan melalui lembaga peradilan.
Logemann mengatakan bahwa negara adalah organisasi jabatan.[11] Jabatan adalah suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang.[12] Di antara jabatan-jabatan yang ada dalam suatu negara adalah jabatan pemerintahan atau administrasi negara, yang secara fungsional menyelenggarakan semua kegiatan negara selain pembuatan undang-undang dan peradilan (alle overheidswerkzaamheid niet als wetgeving of rechtspraak).[13] Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati tugas untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan atau melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat bertindak sendiri. Jabatan hanyalah fiksi, yang perbuatan hukumnya dilakukan melalui perwakilan (vertegenwoordiging) yaitu pejabat (ambtsdrager).[14] Pejabat bertindak untuk dan atas nama jabatan.
Menurut E. Utrecht, oleh karena diwakili pejabat, maka jabatan itu berjalan. Yang menjalankan hak dan kewajiban yang didukung oleh jabatan ialah pejabat. Jabatan bertindak dengan perantaraan pejabatnya. Jabatan walikota berjalan (menjadi konkret menjadi bermanfaat bagi kota) oleh karena diwakili oleh Walikota.[15] P. Nicolai dan kawan-kawan menyebutkan bahwa kewenangan yang diberikan kepada organ pemerintahan harus dijalankan oleh manusia. Tenaga dan pikiran organ pemerintahan adalah tenaga dan pikiran mereka yang ditunjuk untuk menjalankan fungsi organ tersebut, yaitu para pejabat.[16] Berdasarkan ketentuan hukum, pejabat hanya menjalankan tugas dan wewenang, karena pejabat tidak “memiliki” wewenang.  Yang memiliki dan dilekati wewenang adalah jabatan. Dalam kaitan ini, Logemann mengatakan bahwa, berdasarkan hukum tata negara, jabatanlah yang dibebani dengan kewajiban, yang berwenang untuk melakukan perbuatan hukum. Hak dan kewajiban berjalan terus, tidak perduli dengan pergantian pejabat.[17]
Salah satu prinsip negara hukum adalah prinsip legalitas (legaliteitsbeginsel), yang berarti bahwa setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan itu harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam arti hukum, wewenang adalah kekuasaan yang sah berdasarkan hukum. Secara operasional, wewenang adalah kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu,[18] atau kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, sehingga dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara.[19] Wewenang pemerintahan ini dapat diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat.[20] Dalam suatu negara hukum ditentukan bahwa baik penyerahan wewenang, sifat dan isi wewenang, maupun pelaksanaan wewenang tunduk pada batasan-batasan yuridis. Mengenai penyerahan wewenang dan sebaliknya, terdapat aturan-aturan hukum tertulis dan tidak tertulis.[21] Ketika kewenangan yang dijalankan oleh pemerintah itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau kewenangan itu disalahgunakan atau diterapkan secara sewenang-wenang yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara, maka kepada warga negara diberikan perlindungan hukum (rechtsbescherming) antara lain melalui Peradilan Administrasi.
C.      Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik Dalam Penyelesaian Sengketa Di PTUN
Goodgovernance bertalian erat atau mempunyai hubungan interdependent dengan clean government, karena dalam tinjauan filosofis suatu pemerintahan yang baik (good governance) dengan sendirinya akan melahirkan pemerintah yang bersih (clean governmnent), atau dengan kata lain clean government merupakan prasyarat bagi proses suatu good governance. Meskipun demikian, kenyataannya sering ditemukan pemerintahan yang baik belum tentu merupakan pemerintahan yang bersih.[22]
Makna lain dari pengertian pelanggaran hukum ini, penulis berpendapat bahwa pelanggaran terhadap asas atau norma hukum publik secara umum dan hukum adat atau hukum kebiasaan dapat pula dijadikan sebagai tolok ukur pengertian perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat administrasi negara.
            Memang masih terlalu abstrak dan sumir untuk menjadikan asas atau norma hukum publik secara umum sebagai tolok ukur perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat administrasi negara. Selain dikarenakan belum adanya kesepakatan yang secara komprehensif mengenai arti asas atau norma hukum publik itu sendiri terutama dalam hal penegakan hukum administrasi negara, juga untuk menerapkan dalam praktek masih terasa sulit sebab untuk mengukur kapan mendahulukan keadilan daripada kepastian hukum atau sebaliknya.
            Untuk mengetahui maksud asas dan norma hukum publik ini, penulis berangkat dari pengertian asas dan norma itu sendiri. Menurut W.J.S. Poerwadarminta, pengertian asas  adalah: (1) Dasar, alas, pondamen; misalnya : batu yang baik untuk asas rumah; (2) Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya); misalnya : bertentangan dengan asas-asas hukum pidana, pada asasnya saya setuju dengan usul saudara; (3) Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya); misalnya: membicarakan asas dan tujuan perserikatan.[23]
Beranjak dari pengertian asas tersebut, Sri Soemantri berpendapat bahwa arti nomor dualah yang lebih tepat dalam kaitannya dengan hukum, karena dengan demikian akan ditemukan kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir atau berpendapat, misalnya hukum keperdataan, hukum kepidanaan, hukum tata negara dan hukum administrasi negara atau hukum tata pemerintahan.[24]
Rumusan lain dari asas itu sendiri, menurut C.W. Patonadalah : “A principle is the broad reason, which lies at the base of a rule of law” (artinya : Asas ialah  suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan yang mendasari adanya suatu norma hukum).[25]
Terhadap pendapat tersebut, Mahadi mengkritisinya dengan menyatakan bahwa seolah-olah tiap norma hukum dapat dikembalikan kepada suatu asas, padahal dalam praktek terdapat norma-norma hukum yang tidak dapat ditelusuri bagaimana bunyi asas yang mendasarinya, semisal : norma hukum positif dalam bidang lalu-lintas, yang menyuruh pemakai jalan umum mempergunakan bagian kiri dari jalan itu. Dengan demikian norma hukum ini sulit dicarikan  asasnya, tetapi kalau ia sudah menjadi norma hukum maka norma hukum itu sendirilah yang berfungsi sebagai asas.
Menurut Rosjidi Ranggawidjaja pula, norma hukum ini diperlukan keberadaannya;[26] (1) Tidak semua kepentingan atau tata tertib telah dilindungi atau diatur oleh ketiga norma tadi (agama, kesusilaan, dan kesopanan). Misalnya norma etika tidak mengatur hal-hal tentang gaji, lalu-lintas, pajak, pencatatan, perkawinan, dsb; (2) Sanksi-sanksi pelanggaran terhadap norma-norma etika bersifat psychis, sangat abstrak; sedangkan sanksi terhadap pelanggaran norma hukum bersifat physik, dan nyata (kongkrit); (3) Sifat memaksanya sangat jelas dan dapat dipaksakan oleh alat negara (pemerintah), sedangkan norma etika tidak dapat dipaksakana oleh pemerintah (hanya berupa dorongan dari dalam diri pribadi manusia).
            Kaitan asas-asas dan norma-norma dengan perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat administrasi negara adalah pelanggaran hukum yang dimaksud melanggar ketentuan asas-asas atau norma-norma hukum publik. Pengertian asas-asas hukum publik ini menurut penulis adalah asas hukum publik secara umum. Sebagaimana penulis pahami, dalam hukum publik ada beberapa asas yang sering dikemukakan oleh para pakar hukum, diantaranya asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behorlijk bestuur atau the general principles of good administration) dalam hukum administrasi dan asas-asas hukum nasional dalam hukum publik pada umumnya.
                Makna asas-asas hukum publik yang pertama atau asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) adalah “ asas-asas hukum tidak tertulis yang harus diperhatikan oleh badan atau pejabat administrasi negara dalam melakukan tindakan hukum yang akan dinilai kemudian oleh hakim administrasi” (sebagaimanaOlden Bidara mengutip pandangan dari F.H. Van der Burg danG.J.M. Cartigny dalam Olden Bidara.[27]
            Karena AAUPB ini merupakan asas hukum, maka AAUPB bukan merupakan kecenderungan etis dan bukan pula merupakan kecenderungan moral bagi pejabat administrasi yang menjalankan roda pemerintahan. Dikatakan demikian karena menurut S.F Marbun, etika sebagai moralitas fokusnya adalah huku, sedangkan moral pejabat administrasi negara fokusnya adalah pada karakter dan sifat-sifat pejabat administrasi negara tersebut secara individual yang tidak terdapat di dalam peraturan-peraturan hukum.
Artinya, hanya ditujukan kepada sikap batin pejabat administrasi negara untuk memiliki budi pekerti yang luhur, memiliki rasa malu, rasa bersalah dan lain-lain. Sanksinya, hanya bersifat intern dengan mengandalkan pada iktikad baik, kesadaran etis dan nilai-nilai moral pejabat administrasi negara tadi. Dengan kata lain, AAUPB ditegaskan adalah bagian dari hukum karena arahannya ditujukan kepada sikap lahir badan atau pejabat administrasi negara dengan disertai adanya beban hak dan kewajiban yang bersifat memaksa dan sanksi yang tegas serta konkrit bagi yang melanggarnya.[28]
Selain itu, AAUPB ditinjau dari perspektif filsafat hukum dapat dikatakan menyangkut kehidupan yang bersifat ekstern dari pejabat administrasi karena lebih cenderung sebagai penjabaran dari suatu perjanjian yang dapat diserahkan atau dipindahkan kepada pejabat administrasi lainnya, sehingga arahannya lebih ditujukan kepada kehidupan yang bersifat ekstern.[29] Jadi menurut S.F. Marbun, AAUPB salah satu fungsinya adalah: sebagai arahan atau patokan bagi pelaksanaan wewenang administrasi negara untuk memberikan dan menentukan batas-batas manakah yang harus diperhatikan oleh suatu jabatan umum secara hukum, maka kita harus berorientasi kepada peraturan dan asas-asas tatanan hukum, karena hanya dengan patokan-patokan hukum tersebut kepatuhan terhadap batas-batas jabatan umum itu dapat dipaksakan, bukan kepada apa yang dapat diharapkan dari kesadaran dan keinsyafan pribadi pemegang jabatan tersebut.
                AAUPB ini pada awalnya dikemukakan oleh Crince Le Roy, yang di Indonesia kemudian diadopsi dan dikembangkan oleh Kuntjoro Purbopranoto. Kuntjoro Purbopranoto mengutip tulisan Crince Le Roy, dan menambahkan pendapatnya sendiri sehingga menjadi tiga belas asas yang dikandung dalam AAUPB, yaitu;[30] Bandingkan Philipus Hadjon, dalam Paulus Effendie Lotulung,[31] lihat pula S.F. Marbun:[32] (1) Asas kepastian hukum (principle of legal security); (2) Asas keseimbangan (principle of proportionality); (3) Asas bertindak cermat (principle of carefullness); (4) Asas motivasi untuk setiap keputusan pejabat administrasi/ tata usaha negara (priciple of motivasion); (5) Asas tidak boleh mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of competence); (6) Asas-Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality); (7) Asas permainan yang layak (principle of fair play); (8)Asas keadilan atau kewajaran (principle of arbitrariness); (9) Asas menanggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting reised expectation); (10) Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequence of unnulled decisision); (11) Asas perlindungan atas pandangan hidup (cara hidup) pribadi (principle of protecting the personal way of life); (12)Asas kebijaksanaan (principle of sapiently); (13) Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).
Ketiga belas asas di atas, yang murni berasal dari Crince Le Roy adalah asas-asas yang tersebut pada butir (4), (5), (6), (8), (9), (10), dan (11). Hal ini pun dirangkumnya dari yurisprudensi peradilan biasa dan bukan dari peradilan administrasi negara, karena peradilan administrasi negara ketika itu baru berlaku di Belanda pada tahun 1976. Asas kepastian hukum: (1) asas keseimbangan; (2) asas bertindak cermat; (3) dan asas permainan yang layak; (7) berasal dari G.J. Wiarda. Selanjutnya asas kebijaksanaan (12) dan asas penyelenggaraan kepentingan umum (13), merupakan tambahan dari Kuntjoro Purbopranoto. Macam-macam asas yang termasuk dalam ruang lingkup “Algemene Beginselen van Berhoorlijk Bestuur” tersebut, kemudian oleh para pakar hukum administrasi negara di Belanda secara akademis dikelompokkan menjadi asas formal dan asas materiil. Menurut Van der Vlies, asas-asas formal meliputi : asas tujuan yang jelas, asas organ/lembaga yang tepat, asas perlunya peraturan, asas dapat dilaksanakan, dan asas konsensus. Sedangkan asas-asas materiil meliputi : asas tentang terminologi dan sistematika yang benar, asas tentang dapat dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum, dan asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individu.[33]
Lebih lanjut mengenai AAUPB tersebut, Pasal 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme telah menjadikan asas-asas hukum publik menjadi suatu norma hukum publik. Ketentuan dalam Pasal 3 itu menyatakan bahwa Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara (AAUPN) meliputi: (1) Asas Kepastian Hukum; (2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; (3) Asas Kepentingan Umum; (4) Asas Keterbukaan; (5) Asas Proporsional; (6) Asas Profesional; dan (7) Asas Akuntabilitas.
            Ketujuh asas tersebut menurut Penjelasan Pasal 53 ayat (2) butir b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 disebut sebagai AAUPB. Penulis tidak sepakat mengenai Pengertian AAUPB menurut undang-undang ini, karena pada dasarnya AAUPB bersifat tidak hanya tertulis dan tidak terikat dalam beberapa asas saja. Menurut penulis AAUPB sebagai hukum tidak tertulis tumbuh dan berkembang secara pesat karena sifatnya yang abstrak dan dinamis yang dapat berubah cepat mengikuti perkembangan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan administrasi negara.
Kelebihan ke tujuh asas ini bila dibandingkan dengan AAUPB yang dikemukakan oleh Crince Le Roy dan dikembangkan oleh Kuntjoro Purbopranoto, pada dasarnya ke tujuh asas tersebut merangkum dari ke tiga belas asas AAUPB, bahkan menurut penulis asas-asas umum penyelenggaraan negara ini bersifat lebih luas karena ada satu asas yang tidak ada dalam ke tiga belas AAUPB yaitu asas tertib penyelenggaraan negara dan asas akuntabilitas.
Tabel: Perbandingan Antara Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Negara Dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
AAUPN UU No.28 Tahun 1999
(menurut UU No. 5 Tahun 1986 Jis UU No.9 Tahun 2004 dn UU No. 51 Tahun 2009 disebut AAUPB)
AAUPB menurut Crince Le Roy, G.J. Wiarda, dan Kuntjoro Purbopranoto
Asas kepastian hokum
Asas kepastian hukum, Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal
Asas tertib penyelenggaraan negara
Asas kepentingan umum
Asas penyelenggaraan kepentingan umum
Asas keterbukaan
Asas menanggapi penghargaan yang wajar
Asas proporsional
Asas keseimbangan, Asas kesamaan dalam mengambil keputusan, Asas permainan yang layak, Asas keadilan atau kewajaran, Asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi, Asas kebijaksanaan.
Asas professional
Asas bertindak cermat, Asas motivasi untuk setiap keputusan pejabat administrasi, Asas tidak boleh mencampur adukan kewenangan.
Asas akuntabilitas

            Selain itu, dalam hukum publik dikenal juga asas-asas hukum nasional. Asas-asas ini artinya berlaku secara umum, terutama dalam lapangan hukum publik. Sebagaimana rumusan hasil Seminar Temu Kenal Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional tanggal 22-24 Mei 1995 yang diadakan oleh BPHN di Jakarta, maka diperoleh kesimpulan bahwa dengan memperhatikan pula hasil Seminar BPHN Tahun 1989 Tentang Asas-asas Hukum Nasional, maka dapat diidentifikasi Asas-asas Hukum Dasar yang terkandung dalam UUD 1945 antara lain sebagai berikut: Dalam Pembukaan; (1) Asas Kebebasan yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan; (2) Asas bahwa Indonesia negara pejuang; (3) Asas pengakuan atas Kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa; (4) Asas mengayomi bangsa dan tanah air; (5) Asas memajukan kesejahteraan umum; (6) Asas mencerdaskan kehidupan bangsa; (7) Asas ikut menertibkan dunia; (8) Asas negara Pancasila; (9) Asas kebebasan memeluk Agama; (10) Asas kemanusiaan yang adil dan beradab; (11) Asas Kebangsaan; (12) Asas Bhineka Tunggal Ika; (13) Asas musyawarah untuk mufakat; (14) Asas keadilan sosial.
Berdasarkan hasil seminar tersebut, fungsi Asas-asas Hukum Dasar itu adalah mengarahkan dan sebagai pangkal tolak bagi hukum positif dan melekatkan kekuatan hukum materiil pada norma-norma hukum. Berkenaan dengan asas-asas hukum ini pula, penulis melihat adanya kesamaan yang erat dengan makna konsep good governance. Keterkaitan ini dapat diketahui dengan memahami prinsip-prinsip utama dari good governance itu sendiri. Unsur-unsur utama dari good governance pada intinya ada lima hal yaitu akuntabilitas (accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (openess), aturan hukum (rule of law), dan jaminan fairness atau a level playing field (perlakuan yang adil atau perlakuan kesetaraan).
D.      Penutup
            Berdasarkan uraian baik secara teoritis maupun analisis yuridis diatas, menurut hemat penulis makna perbuatan melanggar hukum oleh badan atau pejabat administrasi negara dalam hukum administrasi negara adalah perbuatan hukum publik bersegi satu (vertikal) dan perbuatan hukum publik bersegi dua (horisontal) yang dilakukan oleh badan atau pejabat administrasi negara melanggar hukum berdasarkan putusan lembaga peradilan lain (diluar peradilan administrasi negara (PTUN)) yang sudah in kracht van gevijsde, yurisprudensi, asas-asas hukum publik baik asas-asas umum pemerintahan yang baik atau asas-asas umum penyelenggaraan negara maupun asas-asas hukum nasional, hukum kebiasaan atau hukum adat, dan hak asasi manusia.
Dengan demikian untuk tertibnya teknis dan administrasi peradilan serta integrasi, effektifitas dan effisiensi penegakkan hukum administrasi negara kedepannya perlu direvisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jis Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang PTUN, terutama mengenai kewenangan peradilan administrasi negara (PTUN) sesuai philosopisnya dalam menyelesaikan sengketa administrasi negara yaitu dengan menjadikan “perbuatan hukum publik oleh badan atau pejabat administrasi yang melanggar hukum” sebagai objek sengketa di peradilan administrasi negara (PTUN).




























[1] Penulis sedang menyelesaikan studi Program Pascasarjana S2 Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
[2] Paulus E. Lotulung, Problematika PTUN, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi Negara di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 13 Januari 1995, hlm. 7
[3] Farum Keadilan Nomor 22 Tahun II, 17 Pebruari 1994, hlm. 24
[4] Meskipun perubahan sanksi ini dianggap “kemajuan”, namun dalam implementasinya masih mengandung banyak kendala. Lihat “Jurnal Magister Hukum” Vol.1 No.1 Januari 2005, hlm. 108-111
[5] Untuk mengakses prinsip-prinsip dan unsur-unsur yang bersifat keindonesiaan dalam penelitian ini akan merujuk antara lain pada, Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1097, Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, Azhary, Negara Hukum Indonesia, Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi UI, Jakarta, 1990, dan lain-lain. Sedangkan untuk mengakses prinsip-prinsip umum negara hukum akan merujuk pada buku-buku yang menyajikan pembahasan negara hukum seperti, E.M.A. Hirsch Ballin, Rechtsstaat&Beleids, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1991, H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma BV. Utrecht, 1995, J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door De Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996, AP Le Sueur dan JW Herberg, Constituonal & Administrative Law, Cavendish Publishing Limited, London, 1995, P.J.P. Tak, Rechtsvorming in Nederland, Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1991, P. de Haan, et. al., Bestuursrecht in de Sociale Rechtsstaat, Kluwer, Deventer, 1986, dan lain-lain.
[6] Muhammad Tahir Azhary, op. cit., hlm. 63. Setelah Amandemen UUD 1945, eksistensi Indonesia sebagai negara hukum telah memiliki sandaran konstitusional yang pasti setelah dengan tegas disebutkan dalam batang tubuh UUD 1945, yakni dalam Pasal 1 ayat (3); “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebelum Amandemen, pernyataan bahwa Indonesia tergolong negara hukum hanya disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945, yang diperdebatkan oleh banyak ahli Hukum Tata Negara mengenai validitas dan kekuatan hukumnya.
[7] R.J.H.M. Huisman, Algemeen Bestuursrecht, Een Inleiding, Kobra, Amsterdam, tt., hlm. 13.
[8] J.B.J.M. ten Berge, Besturen Door De Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996, hlm. 137
[9]A.D. Belinfante, Kort Begrip van het Administratief Recht, Samsom Uitgeverij, Alphen aan den Rijn, 1985, 1985, hlm. 49. Dalam bidang perdata, tindakan hukum merupakan tahap awal lahirnya hubungan hukum (rechtsbetrekking) yaitu suatu hubungan yang ada relevansinya dengan hukum atau hubungan yang dapat menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Hubungan hukum dalam perdata ini lahir dari adanya kehendak dan pernyataan kehendak (wil en wilsverklaring), baik pernyataan itu dikemukakan secara tegas maupun secara diam-diam (uitdrukkelijke en stilzwijgende verklaring) di antara pihak-pihak dalam kedudukan yang sejajar. Lebih lanjut mengenai tindakan hukum keperdataan ini dapat dilihat pada, E.M. Mijers, de Algemene Begrippen van het Burgerlijk Recht, Universitaire Pers Leiden, Leiden, 1948, hlm. 211-225.
[10] H.J. Romeijn, Administratiefrecht, Hand en Leerboek, Noorman’s Periodieke Pers n.v., Deen Haag, 1934, hlm. 89.
[11] Logemann, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954, hlm. 88
[12] N.E. Algra en H.C.J.G. Janssen, Rechtsingang, een Orientatie in het Recht, H.D. Tjeenk Willing, bv., Groningen, 1974, hlm. 175
[13] Pemerintah atau administrasi ini memiliki dua pengertian, struktural dan fungsional, P.M.B. Schrijvers en H.C.M. Smeets, Staats-en Bestuursrecht, Tiende Druk, Wolters-Noordhoff, Groningen, 2003, hlm. 169 dan P. de Haan, et. al., op. cit., hlm. 6. Buku-buku Hukum Administrasi lain yang membahas dua pengertian pemerintahan ini dapat lihat misalnya Philipus M. Hadjon, et.al, op. cit., hlm. 6, A.M. Donner, Nederlands Bestuursrecht,  Samsom H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, 1987, hlm. 15,  Algemene Bepalingen van Administratief Recht, Samsom H.D. Tjeenk Willink bv., Alphen aan den Rijn, 1984, hlm. 1, C.J.N. Versteden, Inleiding Algemeen Bestuursrecht, Samsom H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, 1984,  hlm. 13, dan lain-lain.
[14] Frederik Robert Bothlingk, Het Leerstuk der Vertegenwoordiging en Zijn Toepassing op Ambtsdragers in Nederland en in Indonesia, Juridische Boekhandel en Uitgeverij A. Jongbloed & Zoon ‘s-Gravenhage, 1954, hlm.32.
[15] Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hlm. 202
[16] P. Nicolai, et. al., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994, hlm. 24-25
[17] Logemann, op. cit., hlm. 89
[18] P. Nicolai, et. al., op. cit,  hlm. 4
[19] F.P.C.L. Tonnaer, Legaal Besturen; Het Legaliteitsbeginsel, Toetssteen of Struikelblok ?, Tulisan dalam Bestuur en Norm, Bundel Opstellen Opgedragen aan R. Crince Le Roy, Kluwer–Deventer, 1986, hlm. 265
[20] Penjelasan tentang atribusi, delegasi, dan mandat, dapat dilihat pada, H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, op. cit., hlm. 129, B. de Goede, op. cit., hlm. 56, dan P.J.P. Tak, op. cit.,hlm. 99-103
[21] F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats-en Administratief Recht, Samsom H.D Tjeenk Willing, Alphen aan den Rijn, 1985, hlm. 29
[22] SF. Marbun, 2001. Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak dalam Menjelmakan Pemerintahan Yang Baik dan Bersih di Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana Unpad, Bandung hlm. 275.
[23] W.J.S. Poerwadarminta, 2002. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 60-61.
[24] Sri Soemantri, 1995,  Proses Perumusan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum dalam Periode Tahun 1908 sampai dengan sekarang, Makalah disampaikan dalam Seminar untuk memperingati 50 Tahun Indonesia Merdeka, diselenggarakan oleh BPHN pada tanggal 22-24 Mei 1995, dipublikasikan dalam Majalah Hukum Nasional, BPHN, Jakarta, hlm. 136.
[25]  Mahadi, 2003, Falsafah Hukum : Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, hlm. 122.
[26] Rosjidi Ranggawidjaja, 1998,  Pengantar Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm. 24.
[27] Olden Bidara, 1994. Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak Dalam Teori Dan Praktek Pemerintahan, Dalam Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Penyusun Paulus Effendie Lotulung, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hlm. 80.
[28]  Ibid, SF. Marbun (2001),  hlm. 56-57.
[29]  Op.Cit, SF. Marbun (2001),  hlm. 58-59.
[30] Kuntjoro Purbopranoto, 1981, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, hlm. 28-29.
[31] Ateng Syafrudin, 1994. “Butir-butir Bahan Telaahan Tentang Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Untuk Indonesia”, Dimuat dalam Paulus Effendie Lotulung (Ed), Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 106.
[32] Ibid, SF. Marbun (2001), hlm. 166.
[33] Bagir Manan, 1992,  Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, IND-HILL.CO, Jakarta, hlm. 19-20.