Powered By Blogger

Minggu, 23 Oktober 2011

KEBIJAKAN KEAMANAN DI PERBATASAN KALTIM


KEBIJAKAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP KEAMANAN
DI PERBATASAN KALIMANTAN TIMUR DALAM
SISTEM POLITIK DI INDONESIA[1]


Oleh: Aryono Putra


A.  Pengantar

            Negara selalu hidup dalam dunia yang penuh gangguan dan ancaman, dan gangguan dan ancaman itu tidak hanya muncul dalam masa perang, tetapi juga dalam masa damai. Gangguan dan ancaman tersebut muncul sebagai akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan strategi (lingstra) negara yang bersangkutan, baik itu lingkungan domestik maupun internasional.[2]
            Ini berarti bahwa sebagai bagian dari sistem internasional, Indonesia tidak dapat menghindar dari perubahan-perubahan tersebut yang menimbulkan kompleksitas dalam system politik nasional dan global. Indonesia bahkan bisa menjadi bagian dari proses perubahan itu sendiri, tentu dengan dua konsekuensi: terpuruk karena kapasitas domestiknya tidak mampu mengatasi akibat dari perubahan tersebut, atau menarik manfaat dari perubahan itu, karena kapasitasnya memadai, untuk kepentingan pembangunan nasional secara keseluruhan.
Apapun konsekuensinya, langkah kebijakan sebagai jawaban terhadap perubahan lingkungan tetap harus diambil, apalagi jika dampak dari perubahan itu mempengaruhi sistem keamanan dan pertahanan negara.
            Menurut pendapat ahli geografi politik, pengertian perbatasan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu bondaries dan frontier. Kedua definisi ini mempunyai arti dan makna yang berbeda pula, meskipun keduanya saling melengkapi dan mempunyai nilai yang strategis bagi kedaulatan wilayah Negara. Perbatasan disebut frontier karena posisinya yang terletak di depan (front) atau di belakang (hiterlands) dari suatu negara. Oleh karena itu, frontier dapat juga disebut dengan istilah foreland, borderland, ataupun march. Sedangkan istilah boundary digunakan karena fungsinya yang mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik, dalam hal ini adalah negara. Semua yang terdapat di dalamnya terikat menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu dengan yang lain. Boundary paling tepat dipakai apabila suatu negara dipandang sebagai unit spasial yang berdaulat.
            Beberapa pendapat para ahli geopolitik menurut A.E. Moodie tentang boundaries dan frontier antara lain sebagai berikut:[3]
Dalam bahasa Inggris, perbatasan memiliki dua istilah, yaitu boundaries dan frontier. Dalam bahasa sehari-hari, kedua istilah tersebut tidak ada bedanya. Tetapi, dalam persfektif geografi politik, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan makna. Menurutnya dalam buku yang berjudul, boundaries diartikan sebagai garis-garis yang mendemarkasikan batas-batas terluar dari wilayah suatu negara. Sementara, frontier merupakan zona (jalur) dengan lebar yang berbeda yang berfungsi sebagai pemisah dua wilayah yang berlainan negaranya.(Moodie dalam Daldjoeni, 1991).
Keamanan dalam konteks Indonesia, kerap diartikan sebagai sebuah fungsi yang dijalankan hanya oleh polisi. Padahal, keamanan seharusnya dalam dirinya juga mengandung unsur full protection terhadap seluruh bagian dari negara, yang berarti juga pertahanan Negara dan ini membenarkan keterlibatan militer dalam urusan keamanan nasional.
Pertahanan-keamanan, salah satu isu yang patut diperhatikan adalah kemungkinan munculnya konflik antar negara, yaitu Indonesia dan Malaysia. Potensi konflik ini bisa terjadi sebagai akibat persaingan antara kedua Negara dalam memperoleh sumber-sumber daya alam dan tumpang tindih klaim atas batas-batas territorial darat dan laut di daerah perbatasan.  
            Lemahnya kemampuan aparat kita untuk  mengamankan batas wilayah, Ketika menjabat Menteri Pertahanan, saya pernah mendapat laporan,[4] bahwa di perbatasan antara Malaysia dan Kalimantan Timur (Indonesia) banyak patok-patok batas wilayah yang berpindah masuk ke wilayah Indonesia sehingga Indonesia kehilangan wilayah darat yang cukup luas. Bahkan saya pernah menerima informasi bahwa banyak keluarga di perbatasan tersebut pada yang pada 1971 ikut pemilu di Indonesia, tetapi pada pemilu 1999 sudah tidak mengikuti pemilu Indonesia karena tempat tinggalnya sudah diluar patok batas terluar Indonesia; artinya patok batas wilayah sudah berpindah dan menghilangkan banyak wilayah darat yang semula dimiliki Indonesia.    
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 27 ayat (3) berbunyi: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Pada UUD 1945 Khususnya pada BAB XII. PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA. Pasal 30 Ayat (1) berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. Pasal 30 Ayat (2) berbunyi: “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sishankamrata oleh TNI dan POLRI sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”.
Lalu peran militer seperti TNI (AD, AL, AU) pada Pasal 30 Ayat (3) berbunyi “sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”. Pada Pasal 30 Ayat (4) POLRI “Sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
            Wilayah perbatasan laut di mulai dengan negara India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Leste. Sementara perbatasan darat terdapat antara RI-Malaysia di Pulau Kalimantan, antara RI-Papua New Guinea di Papua dan antara RI-RDTL di pulau Timor. Dari berbagai hasil kajian tentang konflik di kawasan memperlihatkan bahwa konflik yang paling riil dan mungkin terjadi di masa yang akan datang di kawasan adalah konflik yang berasal dari persoalan batas. Karena itu persoalan-persoalan perbatasan sejak dini perlu mendapatkan perhatian, hal ini dimaksudkan untuk bisa lebih mengetahui berbagai permasalahan yang ada di wilayah perbatasan.
            Sedangkan, Penegasan perbatasan darat antara RI-Malaysia di Pulau Kalimantan, sudah dimulai sejak MOU (memorandum under standing) terkait penegasan batas di tanda tangani tahun 1973. Pada tahun 2000 proses demarkasinya sudah selesai, tetapi kedua negara masih mempunyai perbedaan persepsi tentang batas di sepuluh lokasi (Outstanding Boundary Problems) dan sampai sekarang belum terselesaikan. Panjang garis batas antara RI-Malaysia di Kalimantan ± 2004 km melintasi 8 (delapan) daerah kabupaten di 2 (dua). Di propinsi Kalimantan Barat memiliki 5 (lima) wilayah kabupaten perbatasan yaitu Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, Bengkayang. Panjang garis garis batas Kalimantan Barat dengan Sarawak adalah 966 kilometer, melintasi 98 desa dalam 14 kecamatan, Di Kalimantan timur terdapat 3 (tiga) kabupaten, yaitu Nunukan, Kutai Barat dan Malinau dengan panjang garis batas sekitar 1.038 kilometer yang melintasi 9 kecamatan dan 256 desa. Di sepanjang perbatasan tersebut terdapat 56 Pos Lintas Batas, tiga diantaranya adalah PPLB yang mempunyai sarana CIQS tedapat di kabupaten Sanggau (Entikong) dan Aruk di Kalbar dan di Nunukan di Kaltim.[5]
B.     Rumusan Masalah
            Dari latar belakang yang di paparkan diatas, sesuai dengan penugasan dosen pengampuh mata kuliah Sistem Politik Di Indonesia, penulis membatasi permasalahan kedalam perumusan masalah sebagai berikut:
  1. Apakah dasar hukum pengelolaan keamanan perbatasan di Indonesia?
  2. Bagaimanakah kebijakan pengelolaan keamanan perbatasan Dalam sistem politik di Indonesia?
C.    Dasar Hukum Pengelolaan Keamanan Perbatasan Indonesia-Malaysia
            Dalam spektrum pengelolaan perbatasan pada umumnya dan pengelolaan keamanan pada khususnya, pemerintah di era reformasi telah melakukan lompatan besar dalam hal cara memandang wilayah perbatasan. Dikatakan sebagai lompatan besar karena pandangan-pandangan pemerintah di era reformasi dalam soal-soal yang terkait dengan perbatasan relatif bersifat komprehensif dan progresif.
Pemerintah tidak lagi canggung dan memiliki kemauan untuk membuat sebuah paradigma mengenai pengelolaan perbatasan dengan mengunakan pendekatan yang tidak lagi semata berorientasi pada keamanan security approach.[6]
            Secara fundamental wilayah perbatasan saat ini tidak lagi di pandang sebagai sebuah daerah “terasing”, melainkan sebagai sebuah daerah yang harus disejahterakan, bahkan kemudian dianggap sebagai sebuah “gerbang negara”. Konsep tentang “gerbang negara” menjadi indikasi bahwa pemerintah saat ini berupaya memperbaiki citra daerah perbatasan sebagai serambi negara (foyer) dan bukan sebuah kebun kosong di belakang rumah (backyard).
            Konsep ini kemudian dikembangkan dengan pendekatan yang tidak semata menekankan aspek keamanan dan ketertiban, namun pula kesejahteraan (prosperity approach). Dalam pendekatan ini, pemerintah secara mendasar membangun komitmen untuk menciptakan kemakmuran sembari menghormati komitmen untuk menciptakan kekhasan sosial-budaya daerah perbatasan dan menjaga pelestarian lingkungan di wilayah tersebut.
Adanya pemahaman yang lebih kompherenshif tentang wilayah perbatasan dengan pelibatan soal-soal yang terkait dengan human security hingga kesadaran lingkungan, memperlihatkan mulai hadirnya konsep-konsep yang lebih humanistis dan holistik dalam soal pengelolaan wilayah perbatasan.      
            Pemerintah Republik Indonesia melandaskan diri pada konstitusi dan berbagai Undang-Undang (UU) yang berlaku. Dan lebih dari itu, pemerintah kemudian menyusun berbagai kebijakan yang menjadi acuan pelaksanaan pengelolaan perbatasan pada umumnya dan keamanan pada khusunya. Secara konstitusional pengelolaan perbatasan terkait dengan persoalan wilayah negara. Dan hal itu ditetapkan dalam Pasal 7 UUD 1945, yang menyebutkan hakikat Republik Indonesia sebagai negara kepulauan dengan batas wilayah tertentu yang diatur oleh undang-undang. Kemudian Pasal 25a UUD 1945 mengenai wilayah negara menjadi landasan bagi ditetapkannya UU dan peraturan yang terkait dengan batas-batas negara, termasuk dalam hal ini UU Nomor 43 tahun 2008 mengenai wilayah negara.
            Dalam melaksanakan amanat konstitusi tersebut, maka pada level implementasi, pemerintah dan DPR kemudian menetapkan beberapa undang-undang yang terkait dengan masalah pengelolaan perbatasan, baik yang bersifat langsung maupun tidak. Dalam soal perbatasan, beberapa UU dirancang untuk turut menguatkan kebijakan dan program pemerintah, termasuk di dalamnya UU Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional (PI) dan UU Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Yang memuat tentang program-program prioritas selama lima tahun, dimana tercakup pula soal wilayah perbatasan.
            Sementara itu pada tataran implementasi, lebih lanjut pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2005 Tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2006 yang menjadi landasan bagi upaya pembangunan wilayah perbatasan sebagai prioritas utama untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Kebijakan inilah yang kemudian menjadi acuan pemerintah daerah dalam menciptakan lingkungan perbatasan yang bermartabat di mata internasional secara kompherensif.
            Berbagai UU yang terkait dengan pengelolaan keamanan di perbatasan yang kerap menjadi landasan pengelolaan perbatasan, namun sifatnya tidak lansung dan hanya merupakan bagian dari tugas pokok yang lebih umum sifatnya. Produk peraturan perundang-undangan yang dipandang memiliki keterkaitan yaitu antara lain sebagai berikut:
  1. UU Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan;
  2. UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri);
  3. UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
  4. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara:
Undang-undang itu secara eksplisit menegaskan di antaranya makna pertahanan semesta (pelibatan unsur Nirmiliter dalam soal pertahanan) sebagai model pertahanan yang dianut oleh bangsa, Peran TNI sebagai garda terdepan pertahanan dan penjaga kedaulatan termasuk di wilayah perbatasan, dan peran Polri sebagai instrumen pengelolaan dan penjaga keamanan di seluruh wilayah Republik Indonesia.                   
Kebijakan pertahanan negara disusun berdasarkan tujuan dan kepentingan nasional dihadapkan pada perkembangan konteks strategis dan kondisi obyektif bangsa. Oleh sebab itu kebijakan pertahanan selalu dikaji dan dievaluasi secara terus menerus, dan pada saatnya dilakukan revisi-revisi agar selalu mampu menjawab tantangan jaman. Namun demikian, revisi yang dilakukan harus selalu bertumpu pada faham dan prinsip pertahanan yang dimuat oleh bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[7]
Adanya persamaan hak dalam hal klaim maritim bagi semua negara pantai memerlukan adanya kompromi. Jika terjadi tumpang tindih klaim maritim, diperlukan adanya delimitasi batas maritim yang melibatkan negara-negara terkait baik melalui negosiasi maupun melalui pihak ketiga seperti International Court of Justice (ICJ). Garis yang disepakati inilah yang akan menjadi batas terluar zona maritim negara-negara tersebut. Dengan kata lain, penentuan batas terluar suatu zona maritim sering kali tidak bisa dilakukan secara unilateral/sepihak, melainkan harus secara bilateral ataupun trilateral karena terjadinya tumpang tindih klaim antara beberapa negara.
            Hal ini juga ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, melalui peryataannya yang diberitakan oleh Kantor Berita Antara (26 Juni 2009). Pada tanggal 16 Februari 2005, Petronas memberikan konsesi atas Blok ND-6 dan ND-7 kepada Pertronas Carigali yang bermitra dengan Royal Dutch/Shell Group. Blok yang menjadi subyek konsesi Malaysia ini tumpang tindih dengan blok Ambalat yang dikonsesikan tahun 1999 kepada Shell dan Blok Ambalat Timur atau East Ambalat yang telah dikonsesikan oleh Indonesia kepada ENI, (perusahaan minyak Italia) dan Unocal, perusahan multinasional Amerika pada 12 Desember 2004. Adanya tumpang tindih pemberian konsesi inilah yang menjadi pemicu ketegangan antara kedua negara.
            Ada satu pandangan bahwa dalam mengklaim Ambalat, Indonesia mengacu pada UNCLOS sementara “Malaysia bersikukuh pada peta yang disiapkannya tahun 1979”. Perlu dipahami bahwa Indonesia dan Malaysia sama-sama telah meratifikasi/menjadi anggota UNCLOS. Indonesia bahkan sudah menandatangani UNCLOS pada tahun 1985 melalui UU No. 17/1985, sedangkan Malaysia melakukan ratifikasi pada tanggal 14 Oktober 1996. Ini berarti bahwa Indonesia dan Malaysia harus mengikuti ketentuan UNCLOS dalam melakukan klaim atas kawasan laut seperti laut teritorial, ZEE dan landas kontinen.  Artinya, dalam menyatakan hak atas Ambalat pun kedua negara harus mengacu pada UNCLOS. Secara teori, Malaysia atau Indonesia perlu membuktikan bahwa Ambalat merupakan landas kontinen mereka yang sah menurut UNCLOS.
            Ambalat adalah blok dasar laut (landas kontinen) yang berlokasi di sebelah timur Pulau Borneo (Kalimantan). Sebagian besar Blok Ambalat berada pada jarak lebih dari 12 M dari garis pangkal sehingga termasuk dalam rejim hak berdaulat (sovereign rights), bukan kedaulatan (sovereignty). Pada kawasan ini Indonesia telah mengeksplorasi dan eksploitasi sejak tahun 1960an tanpa protes dari pihak Malaysia walaupun belum ada batas maritim definitif antara Malaysia dan Indonesia. Sengketa atas Blok Ambalat bermula saat Petronas memberikan blok konsesi kepada Shell untuk kawasan yang sebelumnya sudah dikonsesikan oleh Indonesia kepada Unocal dan ENI.
D.    Kebijakan Pemerintah Pusat Pengelolaan Keamanan Perbatasan Indonesia-Malaysia Dalam Sistem Politik di Indonesia
Sistem Pertahanan Negara Indonesia adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, yang dipersiapkan pemerintah secara dini dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari segala ancaman.
Sistem ini diimplementasikan melalui tiga unsur kekuatan pertahanan. Ketiga unsur kekuatan pertahanan tersebut terdiri dari Komponen Utama dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia (TNI), Komponen Cadangan yakni semua warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan serta sarana prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama serta Komponen Pendukung.
            Sebelum di keluarkannya UU RI Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, pengelolaan perbatasan dan keamanan di Indonesia masih berstandar pada sebuah kekuatan hukum yang generalis, dan bergantung dengan aspek internal dan eksternal yang dihadapi di masing-masing wilayah perbatasan. Oleh karena itu, pada dasarnya masing-masing daerah perbatasan darat, laut, baik di kalimantan, papua, atau NTT, memiliki aturan main spesifik yang berbeda. 
            Di dalam UU Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, komitmen ini terasa semakin kuat. UU ini secara jelas menegaskan bahwa tujuan pengaturan wilayah negara adalah menjamin keutuhan wilayah, kedaulatan dan ketertiban demi kesejahteraan segenap bangsa. Begitu pula dalam UU ini mengaris bawahi wewenang pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam wilayah perbatasan adalah melakukan pembangunan dan koordinasi untuk mewujudkannya. Bahkan UU ini telah menetapkan didirikannya sebuah lembaga yang khusus menangani pengelolaan wilayah perbatasan.
            Situasi ini jelas berbeda dengan paradigma yang dianut oleh Pemerintahan Orde Baru Tahun 1966-1998 dalam melihat daerah perbatasan. Secara umum pemerintahan Orde Baru secara substantif cenderung melihat wilayah perbatasan sebagai wilayah yang berbahaya dan patut “diamankan”. Di mana diasumsikan bahwa komponen-komponen separatisme dan oposan pemerintah kuat berada diwilayah itu. Oleh karenanya pada masa Pemerintahan Orde Baru, pendekatan keaamanan dianggap sebagai sebuah hal yang mutlak dikedepankan.
            Akibat kemutlakan ini, alih-alih menjadi sebuah wilayah disejahterakan, daerah perbatasan dan masyarakat yang tinggal di dalamnya menjadi terisolir dan hidup dalam suasana serba terbatas. Kemiskinan pun menjadi kondisi yang jamak terjadi di wilayah-wilayah tersebut. Tidak mengherankan jika berdasarkan pemantauan Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal (PDT), seluruh wilayah yang masuk dalam daerah perbatasan adalah daerah yang miskin dn tertinggal.
            Sayangnya cara pandang Orde Baru ini sudah terlanjur terimplementasikan begitu lama. Hingga pembenahannya membutuhkan sebuah terobosan besar, baik dalam konteks paradigma maupun pada persoalan-persoalan yang lebih teknis, Yang tampaknya masih belum juga banyak terlaksana hingga saat ini.
            Terlepas dari itu, dalam sudut pandang pemerintah saat ini, yang terlihat dari produk-produk kebijakannya, terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai terkait dengan wilayah perbatasan. Secara umum tujuan tersebut adalah menjadikan daerah perbatasan sebagai sebuah wilayah yang aman tertib dimana kesejahteraan dan perbaikan ekonomi dapat tumbuh dan berkembang di dalamnya.
            Dengan acuan pengelolaan keamanan di perbatasan yang demikian abstrak dan tidak termaktub secara khusus dalam sebuah undang-undang, dan hanya menjadi bagian dari kebijakan yang lain, menyebabkan pada akhirnya acuan pelaksana yang lebih detail  diserahkan pada masing-masing pihak dan instansi yang memiliki kepentingan tugas di wilayah perbatasan.
1.      Tentara Nasional Indonesia (TNI)
            TNI memandang persoalan keamanan perbatasan adalah bagian dari tugas yang diembannya. Hal ini terutama bahwa TNI adalah elemen utama penjaga pertahanan negara. Tampaknya penekanan terhadap status perbatasan sebagai domain negara yang patut dipertahankan, itulah yang menjadi legitimasi mutlak bagi TNI untuk eksis dan mengembangkan kebijakan yang dianggap perlu di wilayah tersebut. Dalam persfektif demikian, sudah merupakan kewajaran bagi TNI jika institusi pertahanan negara kemudian memiliki peran dalam hal pengelolaannya.
            Dalam merumuskan kebijakannya mengenai persoalan keamanan di perbatasan TNI mengacu pada TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang menyatakan bahwa “Tugas TNI adalah di bidang pertahahan untuk menjamin kedaulatan, keutuhan dan keselamatan bangsa dan negara”. TNI juga mengacu pada UU Nomor 34 Tahun 2008 Tentang Tentara Nasional Indonesia, di mana disebutkan pada Pasal 7 bahwa persoalan keamanan di perbatasan merupakan bagian dari tanggung jawab TNI sebagai elemen penjaga keutuhan NKRI. Selain itu, TNI mengacu pula pada Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, yang menyebutkan tanggung jawab pertahanan meliputi penciptaan keamanan nasional, di dalamnya. TNI juga mengacu pada “Buku Putih”[8] pertahanan yang disusun oleh Departemen Pertahanan Republik Indonesia. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa wilayah perbatasan negara termasuk wewenang TNI, yakni dalam hal pengamanan perbatasan, dan termasuk sebagai bagian dari strategi pertahanan militer dalam konteks operasi militer selain perang (OMSP).
            Wajar ditegaskan bahwa dalam konteks normatif, baik Perpres No. 7 Tahun 2008 maupun “Buku Putih Pertahanan”, disebutkan pentingnya perhatian dan pelibatan unsur-unsur non-militer dan kerja sama dengan unsur-unsur tersebut dalam mengelola pertahanan negara. Dalam Perpres dikatakan, bahwa pertahanan negara melibatkan seluruh warga negara sebagai unsur cadangan, wilayah dan sumber nasional lainnya, dimana TNI dan Polri merupakan kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Sementara dalam Buku Putih tersebut disebutkan, bahwa sistem pertahanan rakyat semesta membutuhkan sebuah hubungan yang baik, antara TNI dengan pihak-pihak non-militer lainnya. Bahkan, disebutkan pula bahwa membantu tugas-tugas kepolisian juga merupakan kewajiban dari TNI.
2.      Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
            Pihak yang juga memiliki kewenangan besar mengenai persoalan keamanan perbatasan adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Hal ini karena secara normatif terkait dengan hakikat keberadaan kepolisian itu sendiri, sebagai institusi negara yang mengurus persoalan keamanan. Selepas Orde Baru, kepolisian kembali kepada fungsi awalnya yaitu sebagai elemen penjaga keamanan negara. Dalam kapasitas tersebut polisi, dianggap sebagai uniformed civilian yang bertugas menjaga keamanan di seluruh wilayah republik ini. Atas dasar itulah merupakan sebuah hal yang wajar dan merupakan keharusan konstitusional, jika kemudian kepolisian memainkan peran yang besar dalam persoalan keamanan di perbatasan.
            Dalam menjalankan tugasnya di perbatasan, kepolisian tentu saja menggunakan beragam kerangka acuan, termasuk konstitusi UUD 1945 terutama pasal 30 mengenai pertahanan dan keamanan negara ayat 4, dan aturan main yang ada di bawahnya terutama UU RI Nomor 2 Tahun Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Disebutkan dalam konstitusi bahwa ”Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum”. Sementara dalam konteks Pasal 14 UU Nomor 2 Tahun 2002 dijelaskan bahwa tugas pokok Polri di antaranya melaksanakan tugas lain sesuai dengan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan, dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini berdasarkan Pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 2002, Polri berwenang untuk mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrasi kepolisian.
            Dalam hal yang berkenaan dengan keimigrasian berdasarkan Pasal 16 UU tersebut, polisi berwenang mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan dalam keadaan mendesak dan mendadak, untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.[9]
            Dalam hal inilah sebenarnya, Polri memiliki kesiapan paradigma maupun struktural untuk mendukung pendekatan komprehensif dalam pengelolaan keamanan. Dengan pemahaman yang dimilikinya tentang arti penting elemen-elemen lain penunjang keamanan dan sumber-sumber potensi ancaman keamanan, Maka Polri secara normatif mampu menopang pendekatan kesejahteraan dalam pengelolaan keamanan pada umumnya dan keamanan di perbatasan pada khususnya.
E. Kesimpulan
            Pada perkembangannya, dimensi penyelenggaraan sistem politik di Indonesia mengalami berbagai macam perubahan mengikuti kebijakan pemerintahan yang berkuasa. Pada masa demokrasi terpimpin, komitmen menyelenggarakan desentralisasi mengalami penurunan. Eskalasi nasional yang meningkat pada tahun 1950-an ditandai dengan terjadinya beberapa pemberontakan di daerah-daerah mendorong Presiden Soekarno memusatkan pola penyelenggaraan kekuasaan di bawah kendalinya yang menyebabkan desentralisasi berubah menjadi resentralisasi.

Dalam perjalanannya Reformasi tidak bisa dilihat terpisah dari isu keamanan. Dalam konteks demikian reformasi harus diartikan  sebagai proses yang memberi jaminan akan stabilitas dan keamanan bangsa dan negara untuk jangka panjang. Jika reformasi diartikan sebagai penataan kembali, maka dalam konteks keamanan hal itu harus diartikan sebagai partisipasi seluruh rakyat dalam membangun sistem keamanan Negara. Dengan kata lain, upaya penciptaan keamanan nasional tidak hanya menjadi urusan negara.
            Dalam sejarahnya pada bulan Februari 2005, hubungan Pertahanan dan keamanan Indonesia dan Malaysia mengalami ketegangan karena sengketa kepemilikan atas Blok dasar laut yang oleh Indonesia disebut Blok Ambalat. Dalam sengketa ini muncul saat perusahan minyak Malaysia, Petronas, memberikan konsesi eksplorasi minyak kepada perusahaan Shell pada tanggal 16 Februari 2005. Sementara itu, Indonesia sudah memberikan konsesi untuk wilayah dasar laut yang sama kepada Unocal pada tanggal 12 Desember 2004. Dengan kata lain, dalam perspektif Indonesia, Malaysia telah mengklaim kawasan yang sebelumnya telah dikelola oleh Indonesia. Meskipun kedua belah pihak sudah menempuh upaya-upaya penyelesaian melalui negosiasi, sengketa terkait Ambalat belum juga tuntas.







DAFTAR PUSTAKA

Rodon Pedrason, Bantarto Bandoro, Reformasi, Demokrasi Dan Keamanan: Kementerian Pertahanan Dan Net Assessment. Dalam Jurnal ”Universitas Pertahanan Indonesia”. Website: pertahanan. www.idu.ac. Diakses pada tanggal 04 September 2011.

Riset Unhan, Pulau Sebatik, Solusi Pengembangan Wilayah Perbatasan, www.wilayah perbatasan.com, diakses pada tanggal 7 September 2011.

Departemen Pertahanan RI, 2008. Buku Putih Pertahanan Indonesia, Jakarta, Dephan RI.

Ganewati Wuryandari etc, 2009, Kebijakan Pengelolaan Keamanan Perbatasan” (Keamanan Di Perbatasan Indonesia-Timor Leste); Sumber Ancaman Dan      Kebijakan Pengelolaannya. Pustaka   Pelajar dan P2P-LIPI. Cetakan I: Oktober, Yogyakarta.

Moh. Mahfud MD, 2009, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Cetakan ke-2, Januari 2010, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia

Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik    Indonesia

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional (PI)
                                                                                                              
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2008 Tentang Tentara Nasional Indonesia


Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional             (Propenas).

Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara


[1] Secara harafiah’ Analisis kebijakan publik walaupun merupakan bagian dari studi Ilmu Administrasi Negara, tetapi bersifat multidisipliner, karena banyak meminjam teori, metode dan teknik dari studi ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu politik, dan ilmu psikologi. Studi ini berkembang pada awal tahun  1970-an terutama dengan terbitnya tulisan Harold D. Lawsell Tentang Policy Science. Jadi Kebijakan Pemerintah Pusat Terhadap Keamanan Pengelolaan Perbatasan Kaltim Dalam Sistem Politik Serta Perkembangannya di Indonesia senantiasa berubah dan mengikuti selera Presiden dan Penguasanya legislatifnya sebagai pembuat Peraturan Perundang-Undangan.  
            [2] Rodon Pedrason, Bantarto Bandoro, Reformasi, Demokrasi Dan Keamanan: Kementerian Pertahanan Dan Net Assessment. Penulis saat ini menjabat sebagai Kaprodi Sekolah Strategi Perang Semesta (SSPS) Unhan, Dalam Jurnal ”Universitas Pertahanan Indonesia”. Website: pertahanan. www.idu.ac. Diakses pada tanggal 04 September 2011.
[3] Suryo Sakti Hadiwijiyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Cetakan pertama 2001, Graha Ilmu, Yogyakarta. hlm. 64.
[4] Moh. Mahfud MD, 2009, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Cetakan ke-2, Januari 2010, RajaGrafindo Persada, Jakarta. hlm. 229.     
                [5] ”Riset Unhan” Pulau Sebatik, Solusi Pengembangan Wilayah Perbatasan, www.wilayah perbatasan.com, diakses pada tanggal 7 September 2011.
                [6] Lihat Penjelasan Firman Noor, “Kebijakan Pengelolaan Keamanan Perbatasan” Dalam Ganewati Wuryandari  dan kawan-kawan. (Keamanan Di Perbatasan Indonesia-Timor Leste); Sumber Ancaman Dan Kebijakan Pengelolaannya. Yogyakarta, Pustaka Pelajar dan P2P-LIPI. Cetakan I: Oktober 2009. hal. 240.
[7] Buku Putih Pertahanan Negara Republik Indonesia ini diberi judul "INDONESIA: Mempertahanankan Tanah Air Memasuki Abad 21". Di dalam judul tersebut terkandung makna bangsa Indonesia rela mengorbankan jiwa dan raga demi mempertahankan Tanah Air. Makna tersebut sangat penting, terlebih lagi dalam memasuki abad 21, dimana tantangan dan ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia tidak semakin ringan.
                [8] Departemen Pertahanan RI, Buku Putih Pertahanan Indonesia, Jakarta, Dephan RI, 2008, hal. 111.
                [9] Lihat Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

POLITIK ANGGARAN DI INDONESIA









POLITIK ANGGARAN DI INDONESIA[1]

Oleh : ARYONO PUTRA[2]

A.    Pengantar
            Anggaran merupakan instrument paling penting dalam kebijakan ekonomi yang dimiliki pemerintah Indonesia dan hal ini menggambarkan pernyataan komprehensif tentang prioritas Negara. Sebagai warga negara, kita juga sangat bergantung pada negara untuk menyediakan pelayanan yang krusial dan infrastruktur. Anggaran publik merupakan bentuk hubungan antara warga negara pembayar pajak dan aparat.
Irene Rubbin, seorang ahli politik anggaran, menegaskan anggaran publik tidak berbeda dengan anggaran lainnya. Yakni bagaimana membuat pilihan antara kemungkinan-kemungkinan pengeluaran, keseimbangan dan proses memutuskannya. Akan tetapi, anggaran publik memiliki tipikal yang berbeda, seperti bersifat terbuka, melibatkan berbagai aktor dalam penyusunannya yang memiliki tujuan berbedabeda, mempergunakan dokumen anggaran sebagai bentuk akuntabilitas publik, dan keterbatasan yang harus diperhatikan (budget constraint).[3]
Terlibatnya beragam aktor sepanjang proses penganggaran, mulai dari perencanaan dan penyusunan di lingkungan birokrasi, sampai pengesahaanya di DPR RI, menjadikan anggaran sebagai arena kontestasi politik penting setelah Pemilu. Tidak mengherankan, banyak pihak menilai anggaran sebagai proses politik arena perebutan sumber daya publik antara berbagai kepentingan, baik aktoraktor di dalam lingkaran sistem politik yang berlaku maupun kelompok kepentingan lain yang memiliki pengaruh terhadap keputusan politik anggaran.[4]
Konsep hukum Keuangan Negara yang menjadi prioritas disebutkan antara lain sebagai berikut:
“Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang; serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.[5]
Sebagai salah satu instrumen Ekonomi seharusnya APBN mampu mendongkrak kesejahteraan rakyatnya. Kenyataannya APBN Tidak berpihak pada Ekonomi riil masyarakat.  
Tahun ini Dana Pemerintah yang tidak terpakai akibat lambatnya penyerapan anggaran hingga 8 Agustus 2011,[6] adalah sebesar Rp 117 triliun. Itu adalah kelebihan pembiayaan yang belum jelas penggunaannya karena kementerian dan lembaga yang mendapatkan pagu anggaran dalam APBN Perubahan 2011 belum membelanjakan secara signifikan. Realisasi APBN Perubahan 2011 hingga saat ini masih mencatat Rp 54,7 triliun dan kelebihan pembiayaan Rp 117,1 triliun.
Ini menunjukkan belanja yang tidak optimal, ujar Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Menurut, Kementerian Keuangan, Bambang PS Brodjonegoro,[7] anggaran yang tertahan di rekening pemerintah yang disimpan di Bank Indonesia itu bukan berarti pemerintah memberlakukan tight money policy (kebijakan pengetatan uang). Namun, itu merupakan dampak wajar dari penyerapan anggaran yang sangat lambat. Akibatnya, kontribusi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi masih sangat rendah, yakni 4,5 persen.
Dari sisi lain salah satu penyebab korupsi terbesar di Indonesia adalah “liarnya” partai politik dalam mencari sumber dana. Kevakuman hukum dimanfaatkan parpol untuk mencari dana dari berbagai sumber. Salah satu sumber dana terbesar adalah APBN yang tahun ini sekitar Rp 1.200 triliun. Meski tidak gampang dibuktikan, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa parpol lewat anggotanya yang ditempatkan di Badan Anggaran (Banggar) DPR leluasa membobol uang negara. Mafia anggaran bukan cerita isapan jempol.[8]
Dana APBN cukup untuk membiayai parpol dan dampak positifnya jauh lebih besar daripada parpol dibiarkan mencari sumber pendanaan seperti selama ini. Sebuah studi menyebutkan, selama tujuh tahun terakhir, dana APBN yang dirampok parpol lewat orang-orangnya di DPR mencapai lebih dari Rp 130 triliun atau rata-rata sekitar Rp 18 triliun setahun. Sebuah jumlah yang luar biasa. Jika parpol dibiayai negara, dana APBN yang disisihkan tidak lebih dari Rp 5 triliun setahun atau Rp 50 triliun untuk lima tahun dengan asumsi 10 parpol yang lolos parliament threshold rata-rata mendapat jatah Rp 500 miliar setahun atau Rp 5 triliun selama lima tahun. Jika parliament threshold dinaikkan lagi dari 2,5 persen menjadi 4 persen atau 5 persen, parpol yang layak dibiayai negara akan tinggal sekitar lima atau enam. Saat ini terdapat sembilan parpol yang memiliki wakil di Senayan.[9]
Berdasarkan,[10] Catatan hasil Survei Pelaku Usaha Tani 2009, jumlah rumah tangga petani (padi, jagung, dan kedelai saja) berkisar 22 juta rumah tangga. Belum lagi subsektor pertanian lainnya. Artinya, jika subsidi digelontorkan ke sektor pertanian ini, setidaknya APBN akan memberikan efek penguatan hidup dan produktivitas sekitar 100 juta orang.
Berbicara kebijakan tentang subsidi hanyalah salah satu alokasi anggaran yang cukup besar porsinya. Porsi anggaran paling besar adalah untuk belanja pegawai. Sekitar 60 persen dari total APBN plus APBD masuk kantong pegawai negeri di seluruh Indonesia. Dana yang sangat besar ditransfer pemerintah pusat ke daerah, kebanyakan dipakai untuk belanja pegawai. Bahkan, ada daerah yang menggunakan 75 persen APBD-nya hanya untuk bayar pegawai.
Aliran dana terkait pembangunan Wisma Atlet untuk SEA Games di Palembang terus berkembang. Dalam sidang dengan terdakwa Mindo Rosalina Manulang terungkap, DPR RI dijatah 5 persen dari nilai proyek sebesar Rp 199,635 miliar atau sekitar Rp 9 miliar.[11] Jaksa Agus Salim yang membacakan dakwaan terhadap Rosa menyatakan, terdakwa melakukan pertemuan dengan Muhammad Nazaruddin dan karyawan PT Permai Grup membicarakan pembagian fee Proyek Pembangunan Wisma Atlet dan Gedung Serba Guna dengan prosentase pembagian fee. Dalam pembagian tersebut, PT Permai Grup (induk perusahaan PT Anak Negeri) memperoleh fee 18 persen.
Baru-baru ini kita mendengar berita 103 Trilyun APBN RI dirampok, mendengar hal ini semua masyarakat Indonesia bertanya-tanya, Negara membiayai Partai Politik dan keuangan negara hanya dinikmati elit politik di pemerintah dan DPR sedangkan masyarakat hanya hidup dengan serba kekurangan, ironis, keuangan Negara bukan digunakan untuk meningkatkan taraf hidup warga negaranya, Dan adalah sebuah kenyataan bahwa ditingkat daerah elite politik pun demikian halnya sebagaimana di pusat.
Belum lagi persoalan yang menyangkut perilaku birokrat, inefisiensi, kekurang efektifan pelaksanaan program, tingkat kebocoran yang tinggi, meningkatnya jumlah pinjaman luar negeri, defisit anggaran yang terus membesar, rencana anggaran pendapatan yang tidak mencapai target, terus berkurangnya asset negara dan berbagai masalah lainnya yang semakin menjauhkan kebijakan Politik Anggaran berpihak pada rakyat.     
Tentu saja akibat buruk dari alokasi anggaran pembangunan yang sangat terbatas itu, minim pula proyek infrastruktur yang sangat dibutuhkan untuk memacu perputaran roda-roda perekonomian. Padahal, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, minimal 7 persen, dibutuhkan untuk mengurangi secara signifikan penganggur dan kemiskinan yang masih terus membelit puluhan juta warga di seluruh penjuru Nusantara.
Hampir semua kritik dari berbagai kalangan menuntut agar Pemerintah harus berani mengembalikan arah politik anggaran ke jalur yang benar. Semua inefisiensi dalam penganggaran, dari belanja kementerian dan lembaga, belanja daerah, hingga subsidi yang tidak tepat sasaran, harus dipangkas. Dengan demikian, belanja modal dapat ditingkatkan secara signifikan untuk menyediakan landasan pacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Bukan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati sejumlah kecil penduduk. Kalau begitu, tidak berlebihan tuntutan untuk adanya komitmen dan konsistensi kebijakan, terutama dalam penganggaran dengan menetapkan prioritas pembangunan secara jelas dan tegas.
B.     Politik Anggaran Dan Arah Kebijakan Keuangan Negara Di Indonesia
Secara prosedural kerangka hukum yang tersedia mengakui politik anggaran sebagai salah satu pendekatan dalam penyusunan anggaran. Pendekatan Politik Anggaran pertama adalah keberadaan fungsi anggaran DPR dalam proses pembahasan anggaran dan kedua, penjabaran visi misi Presiden terpilih sebagai dasar penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Konstitusi secara tegas menyampaikan tiga fungsi DPR, yang salah satunya fungsi anggaran. Dalam konstitusi disebutkan kekuatan fungsi anggaran DPR, apabila DPR tidak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan Presiden, Pemerintah hanya dapat menjalankan APBN tahun yang lalu. Sebagai lembaga representatif dari rakyat, legislatif merupakan tempat yang tepat untuk memastikan anggaran optimal sesuai dengan kebutuhan bangsa berdasarkan sumber daya yang tersedia. Partisipasi legislatif yang efektif dalam proses penganggaran, menjamin pentingnya mekanisme check and balance untuk akuntabilitas dan transparansi Pemerintah serta memastikan pemberian layanan publik yang efisien.
a. Politik Anggaran Pemerintah Pusat
Dalam Konstitusi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI 1945) BAB VIII HAL KEUANGAN, Di dalam Pasal Pasal 23 dinyatakan Bahwa:
1)      Anggaran pendapatan dan belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2)      Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbaan Dewan Perwakilan Daerah.
3)      Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
            Bila kita lihat dari bunyi pasal tersebut diatas hanya merupakan kalimat retorik yang tidak memenuhi segi filosofis anggaran. Hal ini disebabkan APBN bukan sekedar perwujudan pengelolaan keuangan negara tetapi merupakan wujud kedaulatan rakyat yang tercermin pada hak budget DPR.
Visi misi Presiden terpilih, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dijadikan dasar dalam penyusunan RPJMN. RPJMN merupakan acuan bagi pemerintah dalam menyusun rencana tahunan yang kemudian diterjemahkan dalam kebijakan alokasi anggaran dalam bentuk APBN.
Dalam Pemerintahan Megawati Soekarno Putri, kebijakan anggaran diarahkan pada arah kebijakan menjaga ketahanan dan konsolidasi fiskal, optimalisasi penggalian sumber pendapatan negara, penerapan kebijakan pengurangan subsidi, pemulihan ekonomi, pemantapan proses desentralisasi serta penerapan disiplin anggaran melalui efisiensi. Tahun 20022004.[12]
Sementara dalam Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono; kebijakan anggaran diarahkan pada stabilisasi ekonomi makro, penurunan deficit anggaran, pengurangan rasio hutang, pertumbuhan ekonomi, dan upaya pengurangan kemiskinan. Tahun 20052009. Pemerintahan JK; sulit terlacak karena satu paket dengan kebijakan anggaran dengan SBY. Ada beberapa catatan tentang upaya JK dalam upaya penurunan defisit anggaran melalui pengurangan subsidi BBM dan listrik sehingga beberapa langkah konversi pernah dilakukan dari konversi minyak tanah ke batubara sampai konversi minyak tanah ke gas.
Implikasi ; Menguatnya nilai rupiah karena masuknya modal dari luar negeri karena program divestasi perbankan, privatisasi BUMN, membaiknya indikator makro, terkendalinya laju inflasi antara lain karena kecukupan pasokan pangan (Implikasi Positif Era Megawati), privatisasi BUMN juga menjadi bumerang terhadap penguasaan atas aset negara terhadap modal asing (Implikasi Negatif Era Megawati). Sedangkan Era SBY; Adanya pergeseran signifikan belanja barang dan jasa dan bantuan sosial, peningkatan tax ratio, dan upaya optimalisasi pembiayaan dalam negeri (Positif), tetapi angka kemiskinan juga relatif tinggi (negatif).
Di lain pihak juga upaya JK menyebabkan konsekuensi alokasi anggaran untuk daerah-daerah konflik yakni dana otsus bagi papua dan NAD. Sampai saat ini kebijakan dana otsus tidak memberikan konstribusi singnifikan terhadap kesejahteraan rakyat Aceh dan Papua yang masih jauh tertinggal dibandingkan daerah lain.
Tahun anggaran meliputi masa satu tahun, yang dimulai mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Sedangkan Tahapan Penganggaran yaitu sebagai berikut:
1.      Tahapan Penyusunan (budget preparation)
2.      Tahapan Pengesahan (budget authorization)
3.      Tahapan Pelaksanaan (budget execution)
4.      Tahapan Pertanggungjawaban (budget accountability).
Pemerintah menetapkan politik anggaran untuk pangan pada tahun 2012, diarahkan pada upaya menjamin ketersediaan pangan bagi seluruh masyarakat sepanjang tahun. Produk yang akan dijaga ketat ketersediaannya itu adalah beras.[13]
Dalam koran ini di tulis bahwa Pemerintah sedang membuat strategi khusus ketersediaaan pangan. Jadi upaya Pertama, adalah meningkatkan produksi pangannya sendiri. Jadi revitalisasi produktivitas pertanian. Kedua, menjaga cadangan beras pada tingkat yang aman. Ketiga, memastikan bagaimana kalau terjadi gejolak harga pangan akibat pengaruh dunia, masyarakat kelompok paling miskin itu bisa terjaga," ujar Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Bambang PS Brodjonegoro di Jakarta, Jumat (12/8/2011).[14]
Menurut Bambang, ketiga program itu dibuat dalam satu kerangka kerja. Dalam kerangka kerja itu ada program yang membutuhkan anggaran, dan ada juga hanya membutuhkan dukungan kebijakan. "Yang pasti ada revitalisasi produksi pertanian, yakni harus memastikan adanya pasokan yang cukup pada sumber daya air, misalnya, dengan irigasi," ujarnya. Dengan cara itu, Indonesia diharapkan tidak terlalu tergantung dengan produksi pangan luar negeri. "Pertanian harus diperkuat. Artinya produksi pangan paling tidak kita tidak banyak tergantung keluar," ungkapnya.[15]
b. Politik Anggaran Daerah
Dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab, Pendapatan Daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang menjadi urusan rumah tangganya. Besar kecilnya jumlah dana yang diperlukan sangat tergantung pada luas wilayah dan keadaan demografi, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, kompleksitas kebutuhan penduduk serta hal-hal lainnya yang sangat mempengaruhi pertumbuhan sosial ekonomi daerah tersebut.
Permasalahan yang cukup penting dalam pengumpulan pendapatan daerah adalah proses pengumpulan yang tertutup dan kesalahan dalam pengelolaan. Tidak banyak daerah yang mampu mengelola potensi berbagai jenis pendapatan daerah secara maksimal, sehingga mampu secara nyata dan bertahap mewujudkan kemandirian keuangan daerah.
Oleh sebab itu sering muncul pertanyaan-pertanyaan berikut: “Mengapa pertumbuhan kelompok Pendapatan Asli Daerah tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan kelompok pendapatan daerah dari Dana Perimbangan dan Lain lain Pendapatan Daerah yang Sah?”, “Mengapa otonomi daerah justru membuat ketergantungan keuangan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat semakin tinggi?”, “Mengapa, dalam setiap perencanaan, proyeksi pendapatan cenderung lebih kecil dari potensi yang sebenarnya?”
Bahwa kondisi dan permasalahan yang ditemui dalam Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah masing-masing daerah adalah tidak sama, karena menyangkut tersedianya sumber daya, tingkat kemajuan serta kemampuan sumber-sumber yang ada. Dalam rangka upaya pendayagunaan aparatur, termasuk didalamnya para pejabat dan staf yang mengelola keuangan dan pendapatan daerah, perlu diberikan peningkatan kemampuan dan ketrampilan untuk menggali potensi sumber Administrasi Keuangan Daerah secara baik, sehingga dapat digunakan secara efisien dalam pembangunan daerah.
Dimensi reformasi telah mengantarkan perubahan sistem dan tatanan pemerintahan negara kita. Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. Walaupun demikian Jaminan Undang-undang belum cukup karena sampai saat ini otonomi daerah tanpa disertai dengan pelimpahan keuangan money follow fuctions.
Sehingga ini menyulitkan bagi daerah untuk benar-benar mandiri. Salah satu alasan hambatan dalam pengembangan partisipasi masyarakat adalah kebijakan-kebijakan yang tidak mendukung bagi terbentuknya akses dan kontrol masyarakat terhadap pengelolaan keuangan negara.
            Transparansi dan akuntabilitas dibidang perencanaan dan penganggaran diantaranya meliputi proses konsultatif perencanaan anggaran dengan lembaga perwakilan secara terbuka berikut dengan publikasi hasil konsultatif tersebut misalnya berupa Undang-Undang APBN dan peraturan daerah tentang APBD. Dibidang pelaksanaan anggaran, misalnya diperlukan transparansi dalam penggunaan anggaran, pembelanjaan pengeluaran negara baik yang sumber dananya berasal dari penerimaan sendiri oleh negara (pajak dan non-pajak) maupun pinjaman (dari dalam maupun luar negeri), serta adanya persaingan yang transparan dan akuntabel dalam pengadaan barang dan jasa oleh negara/daerah maupun oleh BUMN/BUMD.[16]
            Reformasi tersebut telah menghasilkan berbagai perbaikan dalam sistem, prosedur dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara, termasuk di dalamnya keuangan daerah. Salah satu aspek yang harus diperhatikan dari reformasi tersebut adalah penggunaan sistem anggaran berbasis kinerja yang membawa konsekuensi tanggung jawab pengelolaan keuangan negara/daerah melekat pada jabatan yang diemban oleh para pemangku kekuasaan.
            Sebagai konsekuensi dari tanggung jawab tersebut, perlu upaya-upaya serius agar pejabat negara dapat melakukan pengelolaan keuangan negara/daerah dengan lebih berkualitas. Terminologi Pengelola Keuangan Negara merujuk pada semua jabatan yang berkaitan dengan penyusunan dan pelaksanaan APBN/D dari pimpinan tertinggi sampai staf terrendah.
            Karena ruang kepentingan politik terhadap anggran negara dan anggran daerah, maka seyogyanyalah pengelolaan keuangan Negara harus berbasis kinerja. Bukan hasil dari sulap-menyulap dari eksekutif dan legislatif.
            Adanya Dinamika Perkembangan Pembaharuan di Bidang Politik Baik di Tingkat Nasional maupun di Tingkat Daerah. Kebutuhan Transparansi dan Akuntabilitas didalam Pengelolaan Keuangan. Adanya perubahan perangkat hukum formal yang didasarkan atas prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang bersifat dinamis dan modern.
            Good governance, termasuk transparansi dan akuntabilitas fiskal, merupakan salah satu tali pengikat utama untuk mempertahankan keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang terdiri dari sekitar 16,000 pulau-pulau besar dan kecil, dengan jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa yang terdiri dari sekitar 150 suku bangsa dengan sub-budaya, bahasa dan aksaranya masing-masing serta agama yang berbeda pula.
Transparansi dan akuntabilitas fiskal itu diharapkan dapat mengurangi sumber potensi konflik atas dasar SARA, saling curiga antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah maupun antar pemerintah daerah. Sumber utama konflik bersenjata yang terjadi di berbagai daerah yang terjadi terus menerus di Indonesia sejak kemerdekaannya hingga saat ini, antara lain, adalah karena adanya perasaan curiga dan ketidakadilan disebabkan oleh kurangnya transparansi dan akuntabilitas fiskal.
Otonomi daerah merupakan salah satu perwujudan salah satu demokratisi dalam pembangunan bangsa, meskipun harus disikapi secara skeptis akan tetapiwajib bagi kita untuk menannamkan harapan terhadap model pembangunan seperti ini. Harapan tidak harus mewujud menjadi sebuah ekspeksi yang berlebihan, akan tetapi harus diwujudkan dengan membangun  dan meningkatkan partisipasi dalam proses yang sedang berjalan, secara, politik masyarakat sebagai salah satu pilar demokrasi tidak hanya berhak mengikuti akan tetapi juga berhak mengontol berbagai proses politik yang berjalan. Kontrol yang dibangun tidak hanya berupa sikap kritis terhadap lembaga atau institusi politik yang dihasilkan oleh proses politik tersebut, akan tetapi juga pada system yang dikembangkan. Capaian ideal otonomi daerah dalam konteks politik menurut hemat penulis adalah lahirnya masyarakat daerah yang kritis, kreatif, dan mandiri serta mampu hidup berdampingan secara damai dalam suatu kehidupan masyarakat yang heterogen.
Dilapangan perekonomian, pemerintah daerah mempunyai pekerjaan rumah yang cukup besar untuk memberdayakan ekonomi masyarakatnya. Presiden Susilo Bambang Yudoyono menegaskan bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar atau kesejahteraan rakyat itu bukan hanya menunggu tetesan dari pembangunan ekonomi. Bukan hanya menunggu, tapi harus dibangun sejak awal. Dalam pembangunan ekonomi pun kita letakkan sekaligus pemberdayaan masyarakat, sehingga kebutuhan dasar itu menjadi sasaran dalam pembangunan ekonomi kita sejak awal. Disamping kita tingkatkan pertumbuhan ekonomi dengan investasi, mesti ada program-program khusus yang menyerap tenaga kerja secara riil, dikabupaten dan provinsi di Indonesia.
C. Penutup
            Memberikan kesimpulan, apalagi dilengkapi dengan tawaran-tawaran yang solutif bagi kondisi real keuangan negara di Indonesia bukanlah sebuah pekerjaan mudah, diperlukan kecermatan, kecerdasan. Ketelitian, dan menuntut objektifitas tinggi. Penulis merasa tidak memiliki kapasitas untuk melakukan itu, tapi sebagai mahasiswa sikap kritis, Apalagi tugas yang di emban yang melekat meminjam ungkapan Herbert Mercuse” Mahasiswa adalah agen of Change yaitu pembawa perubahan, pembangunan, pembaharuan.         
Kalau kita melihat dari hasil amandemen dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan negara tidak banyak memberikan peluang untuk terciptanya sebuah kepekaan tuntutan kemandirian badan hukum dimana hukum tersebut masih bersifat egaliter, padahal semestinya diperlukan sebuah perubahan kebijakan keuangan negara yang berorientasi pada kemajuan dalam sistem keuangan negara sehingga dapat mencapai cita-cita bersama yaitu untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Dalam prospek hukum keuangan negara bagi Indonesia, proses penyusunan hukum keuangan negara harus diarahkan sebagai pedoman kebijakan yang sesuai dengan tujuan yang ingin dilaksanakan negara dan sesuai dengan alat-alat politik ekonomi yang ingin dipergunakan negara untuk mencapai tujuan nasional dan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
            Adapun landasan hukum keuangan negara harus mampu direfleksikan dalam konstitusi atau undang-undang dasarnya sesuai dengan konsepsi teori hukum. Apabila penyusunannya mengabaikan teori hukum dan mengutamakan kepentingan politik pihak tertentu, hukum keuangan negara hanya akan menjadi bagian dari kepentingan pihak tersebut, sehingga hakikat kedaulatan rakyat tidak akan pernah terwujud dalam keuangan negara. Dengan kata lain, hukum keuangan negara pemberian dalam tataran peraturan perundang-undangan harus mengutamakan kepentingan rakyat atau harus sesuai dengan konsepsi mengenai negara dan pemerintahan dan bangsa itu sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh dan meyeluruh.





















                [1] Tulisan ini sudah di presentasikan didepan kelas BKU Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara, Mata Kuliah Hukum Pajak Dan Keuangan Negara serta sudah dilakukan revisi sesuai dengan saran-saran dosen pengampuh pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Dosen Pengasuh Mila Karmila Adi, S.H. M. Hum.
                [2] Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Hukum S2 pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia(UII) Yogyakarta Tahun 2011.        
[3] Irene S Rubin (1990), The Politics of Public Budgeting; Getting and Spending, Borrowing and Balancing. hatam. New Jersey.
[4] Untuk ungkapan “Politik Anggaran” Aaron Wildavsky bahkan memberikan pernyataan mengenai ini, ”All budgeting is about politics; most politics is about budgeting; and budgeting must therefore be understood as part of political game”. Yang jika kita terjemahkan berarti ” Penganggaran Semua tentang politik, politik yang paling adalah tentang penganggaran; dan penganggaran karena itu harus dipahami sebagai bagian dari permainan politik”. Jadi Secara harafiah Politik Anggaran adalah bias diartikan sebagai sebuah proses politik dua atau lebih orang atau lembaga yang memiliki kepentingan untuk mendapatkan keuntungan dari anggaran, dimana mereka memiliki kuasa untuk mengendalikannya. 
[5] Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
[6] Koran Online Kompas, http://bisniskeuangan.kompas.com, Anggaran Tersandera Rp 117 Triliun, Diakses Pada Hari Rabu, 09 November 2011.
[7] Ibid, Anggaran Tersandera Rp 117 Triliun.
[8] http://www.suarapembaruan.com, Parpol Dibiayai Negara, Diakses Pada Hari Rabu, 09 November 2011.
[9] Ibid, Parpol Dibiayai Negara.
[10] Koran Online Kompas, http://bisniskeuangan.kompas.com, Kembalikan Arah Politik Anggaran ke Jalur Benar, Diakses Pada hari Rabu, 09 November 2011. 
[11] http://www.rimanews.com, Rampok APBN, DPR Dapat Jatah Sekitar Rp 9 Miliar, Diakses Pada hari Rabu, 09 November 2011.
[12]  Sumber: Seknas FITRA, dan diolah dari RAPBN 2005-2009.
[13] Koran Online Kompas: http://bisniskeuangan.kompas.com, Politik Anggaran 2012 Fokus Ketersediaan, Diakses Pada Rabu, 09 November 2011.
[14] Ibid, Koran Online Kompas, Politik Anggaran 2012 Fokus Ketersediaan. 
[15] Op. Cit, Koran Online Kompas, Politik Anggaran 2012 Fokus Ketersediaan.   
            [16] Dalam Makalah: Perbaikan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Era Reformasi. Oleh Prof. Dr. Anwar Nasution Guru Besar (Emeritus) Ilmu Ekonomi,  Universitas Indonesia, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan R.I., periode 2004-2009.