FUNGSI DAN PERANAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA
Oleh : ARYONO PUTRA[1]
A. Latar Belakang
Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan. Saat ini korupsi menjadi musuh bersama setiap masyarakat Indonesia yang menginginkan kehidupan yang sejahtera dan kemandirian bangsa. Korupsi merupakan masalah serius dikarenakan dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas.
Di Indonesia praktek korupsi sudah menjadi pengetahuan umum dan menggejala secara meluas dalam kehidupan masyarakat tidak ada bidang kehidupan yang tidak tercemar Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN), baik dalam skala kecil maupun besar dari pusat pemerintahan sampai ke tingkat kelurahan/desa, meliputi instansi pemerintah maupun swasta.
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, maka tindak pidana korupsi dapat dikatagorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.
Saat ini, korupsi terjadi di seluruh penyelenggara Negara, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Bahkan terjadi hampir di semua institusi resmi seperti BUMN, dan strata sosial politik seperti LSM, partai politik, dan sebagainya. Keadaan sekarang sangat memprihatinkan, karena ditengah maraknya demokrasi, marak pula praktek korupsi.
Korupsi sendiri tidak bisa dipisahkan pada manusia sebagai aktor kegiatan korupsi itu sendiri, setiap manusia memainkan peranan tertentu dan terlibat dalam interaksi.[2] Tetapi secara analitis aktor tersebut dapat dipisahkan dari peranan yang dimainkan serta tindakan yang dilakukannya. Dua orang yang berbeda mungkin akan memainkan peranan yang sama dan sebaliknya dua orang yang sama mungkin juga memainkan peranan yang berbeda.
Trecker,[3] Menegaskan bahwa administrasi negara merupakan suatu proses yang dinamis dan berkelanjutan, yang dikerjakan dalam rangka mencapai tujuan dengan cara memanfaatkan secara bersama orang dan material melalui koordinasi dan kerja sama. Menurut mereka, kegiatan perencanaan, pengorganisasiaan, dan kepemimpinan secara eksplisit termasuk dalam definisi tersebut.
Secara umum Administrasi dapat diartikan sebagai arahan, pemerintah, kegiatan implementasi, kegiatan pengarahan, penciptaan prinsip-prinsip implementasi kebijakan publik, kegiatan analisis, penyeimbangan dan presentasi keputusan, pertimbangan kebijakan, sebagai pekerjaan individual dan kelompok dalam menghasilkan barang dan jasa publik, dan sebagai arena bidang kerja akademis dan teoritis.
Adapun tugas-tugas administrasi meliputi kegiatan,[4] mengidentifikas kebutuhan; mengidentifikasi dan mendefinisikan kembali (serta meninterpretasi dan menggunakan) tujuan organisasi sebagai tuntunan program dan pelayanan; mengamankan sumber daya keuangan, fasilitas, staf dan berbagai bentuk dukungan lainnya; mengembangkan program dan pelayanan; mengembangkan stuktur dan prosedur organisasi; mengunakan kepemimpinan dalam proses pembuatan evaluasi program dan kepegawaian secara berkesinambungan; dan membuat perencanaan serta melakukan penelitian dan menggunakan kepemimpinan dalam proses perubahan yang dibutuhkan dalam organisasi pelayanan manusia.
Definisi-definisi di atas secara langsung menepis anggapan selama ini bahwa administrasi selalu diartikan sebagai kegiatan ketatausahaan atau berkaitan dengan pekerjaan mengatur file (berkas), membuat laporan administrasi ke pihak atasan, dan sebagainya. Agar lebih meyakinkan lagi, dapat dilihat definisi administrasi dalam The Public Admnistration Dictionary[5] sebagai proses ketika keputusan dan kebijakan diimplementasikan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah Bagaimana Fungsi dan Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia?
C. Konsepsi Korupsi
Apa yang dimaksud dengan korupsi? Suatu pertanyaan yang tampaknya mudah untuk dijawab namun tidak sesederhana itu. Pengertian korupsi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Menurut ilmu kejahatan, maupun maupun menurut undang-undang. Terlebih dalam perkembangan terakhir, masyarakat internasional termasuk indonesia terdapat kesepakatan untuk saling bekerja sama dalam pemberantasan praktek-praktek korupsi. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya deklarasi pemberantasan korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7-11 September 1997 dalam konferensi anti korupsi yang dihadiri oleh 93 negara.[6]
Dilihat dari segi peristilahan, kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa latin corruptio[7] atau menurut Webster Student Dictionary adalah corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari Bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa di eropa seperti Inggris: corruption, corrupt; Perancis; corruption; dan Belanda: corruptie (korruptie). Dapat diduga istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda ini yang kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia: “korupsi”.
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Arti kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwardarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: “Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti pengelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya”.[8]
Di Malaysia terdapat juga peraturan antikorupsi. Akan tetapi di Malaysia tidak digunakan kata ’korupsi’, melainkan kata peraturan “anti-kerasukan”. Sering pula Malaysia menggunakan istilah resuah yang tentulah berasal dari bahasa Arab (riswah) menurut kamus Arab-Indonesia, riswah artinya sama dengan korupsi.[9] Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Seperti di simpulkan dalam Encyclopedia Americana, korupsi itu adalah suatu hal yang bermacam-ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam-macam pula dan artinya sesuai pula dari segi mana kita mendekati masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussen Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi. Misalnya Alatas, memmasukan nepotisme sebagai kelompok korupsi dalam klasifikasinya memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu. Tentunya hal seperti ini sangat sukar dicari normanya dalam hukum pidana[10] di Indonesia.
Begitu pula Mubyarto menyorot korupsi dan penyuapan dari segi politik dan ekonomi yang menugutif pendapat Smith sebagai berikut bahwa secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik dari pada ekomoni. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah di mana generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai negeri pada umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten.[11]
Dari sudut politik, korupsi merupakan faktor yang mengganggu dan mengurangi kredibilitas pemerintah, terutama di kalangan masyarakat terdidik dan generasi muda. Dari sudut ekonomi, korupsi merupakan salah satu faktor ekonomi dengan biaya tinggi yang sangat merugikan negara dan masyarakat. Dari sudut kultural, korupsi merusak moral dan karakter bangsa kita yang sebenarnya mempunyai nilai- nilai luhur.
Di dalam Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001, Pasal 2 korupsi diartikan sebagai “Perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara” dan dalam Pasal 3 dirumuskan korupsi sebagai: “Perbuatan yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”., Dalam praktek, untuk mengetahui adanya unsur-unsur penyalahgunaan kewenangan harus diketahui terlebih dahulu apa yang menjadi tugas dan wewenang serta tanggung jawab tersangka/terdakwa melakukan atau tidak apa yang menjadi tugas dan wewenangnya tersebut, dan apakah ada prosedur yang tidak dilaksanakan sebagai mana mestinya.
D. Fungsi dan Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Upaya menegakkan hukum sebagai salah satu pilar demokrasi, paling tidak dipengaruhi oleh empat faktor. Pertama, hukum itu sendiri, baik dalam pengertian substansial dari suatu peraturan perundang-undangan maupun hukum formal untuk menegakkan hukum material. Kedua, profesionalisme aparat penegak hukum. Ketiga, sarana dan pra sarana yang cukup memadai, keempat, adalah presepsi masyarakat terhadap hukum itu sendiri.[12]
Hubungan hukum Administrasi adalah suatu hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara, yang dalam kehidupan dimasukan dalam tindakan hukum administrasi yang tidak terdapat di dalam hukum perdata,[13] berbeda dengan hukum perdata, hubungan hukum administrasi tidak langsung terjadi dari undang-undang. Hal ini sesuai dengan definisi hukum administrasi, yang mengatakan bahwa hukum administrasi hanya bertalian dengan fungsi pemerintahan. Apabila undang-undang memerintahkan atau melarang (anda harus jujur, anda tidak boleh membunuh) adalah hal ini merupakan perintah, namun kita sulit untuk mempertahankan bahwa di sini dibicarakan mengenai hubungan hukum antara pemerintah (penguasa) di satu pihak, dan warga negara di lain pihak. Lagi pula, hubungan ini sepenuhnya berada di luar badan yang di bebankan kepada penguasa (pemerintahan) dan dijalankan bukan fungsi pemerintahan.
Hukum Administrasi Negara memiliki fungsi dan peranan dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Fungsi dan peranan Hukum Administrasi Negara tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Pengawasan Hukum terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan
Berdasarkan perspektif hukum, pengawasan itu dilakukan untuk menilai apakah pelaksanaan tugas dan pekerjaan itu telah sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan apakah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai tanpa melanggar norma hukum yang berlaku. Bila pengawasan itu dikaitkan dengan keuangan negara, berarti pengawasan itu dilakukan dalam rangka mengamati dan menilai apakah keuangan itu diperoleh dengan cara yang sah dan dari sumber-sumber yang sah, bagaimana menggunakan keuangan tanpa melanggar norma hukum, dan bagaimana penyelesaian hukumnya ketika terjadi penyalahgunaan keuangan negara.
Secara teoretik dan praktik, pengawasan itu ada yang bersifat intern yaitu pengawasan oleh badan yang secara organisatoris termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri, sedangkan yang bersifat ekstern dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisatoris berada di luar pemerintah. Di samping itu, pengawasan juga dibedakan dalam dua jenis yaitu a-priori dan a-posteriori. Pengawasan a-priori adalah pengawasan yang dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan pemerintah, sedangkan a-posteriori adalah pengawasan yang dilaksanakan sebelum dikeluarkannya keputusan pemerintah. Selain itu, dikenal pula pengawasan segi hukum (rechtmatigheid) dan segi kemanfaatan (doelmatigheid). Pengawasan dari segi hukum dimaksudkan untuk menilai pertimbangan yang bersifat hukumnya saja (segi legalitas) yaitu segi rechtmatigheid dari perbuatan pemerintah, sedangkan segi kemanfaatan dimaksudkan untuk menilai benar tidaknya perbuatan pemerintah dari segi pertimbangan kemanfaatannya.
Berdasarkan pembagian pengawasan tersebut, dapat disebutkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh peradilan dalam Hukum Administrasi itu mempunyai ciri-ciri. Pertama, ekstern, karena dilakukan oleh suatu badan alau lembaga di luar pemerintahan. Kedua, a-posteriori, karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol. Ketiga, kontrol segi hukum, karena hanya menilai dari segi hukum saja.
Pengawasan yang dilakukan oleh peradilan tersebut dikenal dengan istilah pengawasan hukum. Suatu pengawasan yang dimaksudkan untuk menilai apakah tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah itu sesuai atau tidak dengan norma hukum yang berlaku (rechtmatigheid atau onrechtmatigheid). Selain itu, ada pula pengawasan politik, yakni pengawasan yang dilakukan oleh badan perwakilan rakyat terhadap pemerintah dalam menggunakan wewenang pemerintahan. Dalam hal ini, pengawasan itu dimaksudkan untuk menilai apakah penggunaan wewenang pemerintahan itu sesuai atau tidak dengan kehendak rakyat. Di samping itu, pengawasan juga dapat dilakukan oleh warga masyarakat terhadap administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Jadi, untuk mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia, maka salah satu caranya adalah dengan meningkatkan pengawasan hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan harus senantiasa mendapat pengawasan baik secara langsung, maupun tidak langsung. Pengawasan langsung terlihat dengan adanya partisipasi dan keterlibatan rakyat dalam mengawasi pemerintahan terutama dalam pengambilan kebijakan, sedangkan pengawasan tidak langsung terlihat dari adanya peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam melaksanakan fungsi pengawasan (controlling) terhadap lembaga eksekutif. Sehingga dengan demikian, praktik korupsi dapat dicegah dan diberantas.
b. Perwujudan Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Secara historik konsep-konsep tentang cakupan tugas pemerintah ini memang berkembang menurut proses kausalitas dari bentuk-bentuk negara tertentu.[14] Sondang P. Siagian mengemukakan adanya tiga bentuk negara yang memberikan peranan dan fungsi yang berbeda bagi pemerintah, yaitu bentuk political State (semua kekuasaan dipegang oleh Raja sebagai pemerintah), bentuk Legal State (pemerintah hanya sebagai pelaksana peraturan) dan bentuk Welfare State (tugas pemerintah diperluas untuk menjamin kesejahteraan umum) dengan discretionary power dan freies ermessen.
Dalam konsep negara hukum yang lama ini dikemukakan ciri-ciri negara hukum oleh Freidrich Julius sebagai berikut:
1. Adanya perlindungan hak-hak azasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak azasi manusia itu (Trias Politika);
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan;
4. Peradilan administrasi negara dalam perselisihan.[15]
Untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik (good governance) di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan konsep negara demokrasi yang dipolakan dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. Konsep demokrasi ini sebagai salah satu landasan utama mewujudkan suatu pemerintahan yang baik, mengingat pemerintahan dikatakan demokratis manakala dalam penyelenggaraan pemerintahan senantiasa melibatkan rakyat, serta jaringan pembuatan suatu keputusan melibatkan banyak unit politik, dan prosesnya transparan sehingga rakyat bisa mengontrol ataupun memasukkan inisiatif lewat saluran yang disediakan oleh sistem politik.
Proses penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan dimaksud menghendaki adanya akuntabilitas, transparansi, terbuka, dan bertanggung jawab. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ford Foundation sebagai salah satu lembaga yang menjadi pionir program governance, bahwa pemerintah yang efektif tergantung pada legitimasi yang diperoleh dari partisipasi yang berbasis luas, keadilan dan akuntabilitas. Beranjak dari pengertian governance sebagai “cara” atau “penggunaan” atau “pelaksanaan” di atas, dengan demikian good governance mengandung makna suatu cara dan pelaksanaan government yang baik, baik dalam arti tindakan atau perilaku para stakeholder dalam menjalankan pemerintahan (government) berlandaskan pada etika atau moral.
Suatu pemerintahan yang baik (good governance) akan lahir dari suatu pemerintahan yang bersih (clean government), pemerintahan yang baik (good governance) hanya dapat terwujud, manakala diselenggarakan oleh pemerintah yang baik, dan pemerintah akan baik apabila dilandaskan pada prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Menurut Taliziduhu Ndraha, konsep akuntabilitas berawal dari konsep pertanggungjawaban, konsep pertanggungjawaban sendiri dapat dijelaskan dari adanya wewenang. Wewenang disini berarti kekuasaan yang sah. Menurut Weber ada tiga macam tipe ideal wewenang. Pertama, wewenang tradisional; kedua, wewenang karismatik dan ketiga, wewenang legal rational. Yang ketigalah ini yang menjadi basis wewenang pemerintah. Dalam perkembangannya, muncul konsep baru tentang wewenang yang dikembangkan oleh Chester I. Barnard, yang bermuara pada prinsip bahwa penggunaan wewenang harus dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas (accountability) merupakan suatu istilah yang pada awalnya diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk tujuan di mana dana publik tadi ditetapkan dan tidak digunakan secara ilegal. Dalam perkembangannya akuntabilitas digunakan juga bagi pemerintah untuk melihat akuntabilitas efisiensi ekonomi program. Usaha-usaha tadi berusaha untuk mencari dan menemukan apakah ada penyimpangan staf atau tidak, tidak efisien apa tidak prosedur yang tidak diperlukan. Akuntabilitas menunjuk pada institusi tentang “cheks and balance” dalam sistem administrasi.
Menurut Mardiasmo, transparansi berarti keterbukaan (openness) pemerintah dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Jadi, untuk mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia, maka salah satu caranya adalah dengan mewujudkan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
c. Reformasi Birokrasi
Belakangan ini, dalam segala aspek yang berhubungan dengan pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih lagi, birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Akan tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi. Ironisnya, sebagian masyarakat Indonesia saat ini, justru merindukan pemerintahan Orde Baru yang dianggap dapat memberikan kemapanan kepada masyarakat, walaupun hanya kemapanan yang bersifat semu.
Menurut Bintan R. Saragih bahwa peranan Hukum Administrasi Negara dalam reformasi birokrasi antara lain :
1. Semua Undang-Undang yang mengatur birokrasi dan yang ada hubungannya dengan birokrasi harus sinkron atau harmoni dengan UU No.3 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Demikian juga semua peraturan perundang-undangan yang melaksanakan Undang-undang tersebut harus taat asas atau tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.
2. Urutan sesuai dengan ketentuan Hierarki UU No.12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-Undangan, yaitu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan;
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kondisi seperti inilah yang dikehendaki oleh good governance dengan rumusan: “melaksanakan hukum untuk melindungi kepentingan masyarakat, dan tidak terlalu banyak regulasi”. Dengan adanya Hukum Administrasi Negara seperti itu, maka reformasi birokrasi dapat diprediksi dengan tersedianya peraturan dengan tata laksananya yang jelas.
Dengan ditentukan PNS bebas partai politik atau netralisasi PNS dari partai politik dan golongan, dan membangun PNS yang profesional melalui Pasal 3 UU No.43 Tahun 1999 , maka Hukum Administrasi Negara yang akan dibentuk untuk mengatur reformasi birokrasi harus secara jelas menentukan PNS netral dari politik dan golongan dan mereka harus profesional. Artinya, PNS yang diangkat menduduki jabatan-jabatan politik karena pilihan politik (kecuali menjadi Menteri) seperti: menjadi Hakim Agung, anggota DPR, DPD, DPRD, KPU, KOMNAS HAM, Kepala Daerah, dan sebagainya harus diberhentikan sebagai PNS saat ditetapkan pengangkatan mereka menduduki jabatan tersebut. Dengan demikian PNS tetap profesional.
Bila UU No.43 Tahun 1999 melalui Pasal 17 ayat (2) telah menentukan bahwa pengangkatan PNS dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan maka Hukum Administrasi Negara yang dibentuk untuk itu harus mengacu pada ketentuan tersebut. Bila Hukum Administrasi Negara sudah mengatur secara baik, maka harus dilaksanakan secara konkrit dalam seleksi pejabat birokrasi. Inilah yang disebut dalam good governance sebagai “melaksanakan hak asasi manusia” dan mencegah “terlalu banyak regulasi pada birokrasi sehingga menghalangi berfungsinya mekanisme pasar”.
Reformasi birokrasi dapat pula dicermati dalam karya Max Weber tentang konsep birokrasi ideal yang secara singkat disebutkan oleh Miftah Toha dalam bukunya. Max Weber mengatakan bahwa birokrasi ideal yang rasional itu singkatnya dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : Pertama, individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya; Kedua, jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping. Konsekuensinya ada pejabat atasan dan bawahan dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil; Ketiga, tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya; Keempat, setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak; Kelima, setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, yang idealnya dilakukan melalui ujian kompetitif; Keenam, setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam keadaan tertentu; Ketujuh, terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif; Kedelapan, setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya; Kesembilan, setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin.[16]
Perlunya menegakkan Hukum Administrasi Negara untuk mencegah dan memberantas praktik korupsi di Indonesia. Banyak peraturan perundang-undangan yang terbentuk yang mengatur secara khusus pemberantasan tindak pidana korupsi antara lain:
- UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
- UU No.30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
- UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No.30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
- UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
- UU No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
E. Kesimpulan
Jadi, dapat disimpulkan bahwa di Indonesia praktek korupsi sudah menjadi pengetahuan umum dan menggejala secara meluas dalam kehidupan masyarakat tidak ada bidang kehidupan yang tidak tercemar Korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN), baik dalam skala kecil maupun besar dari pusat pemerintahan sampai ke tingkat kelurahan/desa, meliputi instansi pemerintah maupun swasta.
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, maka tindak pidana korupsi dapat dikatagorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Hukum Administrasi Negara memiliki fungsi dan peranan dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia. Fungsi dan peranan Hukum Administrasi Negara tersebut antara lain: Pengawasan hukum terhadap penyelenggaraan pemerintahan, perwujudan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan, reformasi birokrasi, serta menegakkan Hukum Administrasi Negara melalui peraturan perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
A.D.Belinfante, Boerhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, (Binacipta: Cetakan Pertama Oktober 1983).
Andrew Dunsen, 2010, Cutback Managemen in Public Bureaucracies: Popular Teories and Observed Outcomes in Whitehall, 1 edition, (London: Cambridge University Press; 2010).
Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahananya, Gramedia Pustaka Utama.
Dani Krisnawati, (dkk) 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena: Ilmu dan Amal, Jakarta.
Fred W. Riggs (Editor), 1971, Administrasi Pembangunan: Batas-batas, Strategi Pembangunan Kebijakan dan Pembaharuan Administrasi, Cetakan 2 April 1994, Raja Grafindo, Jakarta. (Penerjemah: Luqman Hakim, Frontiers of Developmen Administration: 1971, Duke University Press).
Fockemma, SJ. Andreae, 1995 Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Groningen-Djakarta: Bij J.B Wolter Uitgeversmaatschappij N.V.
H. George Frederickson, 1984, Administasi Negara Baru, Cetakan keempat, Jakarta; LP3ES.
Hessel Nogi s. Tangkilisan, 2003, Kebijakan Publik yang Membumi, (Yogyakarta: Lukman Offset & YPAPI, 2003).
Internasional Conference Against Corruption, “Declaration of the 8th International Conference Against Corruption; signed in Lima, Peru, 11 September 1997.
Oemar Seno Adji, 1966, Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Seruling Masa.
Soerjono Soekanto, 1985, Efektifitas Hukum dan Peran Sanksi, Remaja Karya, Jakarta.
SF. Marbun, Moh. Mahfud MD, 2000, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Cetakan Kelima: Februari 2009, Yogyakarta.
Trecer, 1977, Social Work Administration: Principles and Practices, (Associated Press, 1977).
W.J.S Poerwardarminta, 1992, Kamus Umum Bahasa Indonesia.
[1] Penulis Sedang Menyelesaikan Program Pascasarjana S2 Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
[2] Fred W. Riggs (Editor), Administrasi Pembangunan: Batas-batas, Strategi Pembangunan Kebijakan dan Pembaharuan Administrasi, Cetakan 2 April 1994, Raja Grafindo, Jakarta. (Penerjemah: Luqman Hakim, Frontiers of Developmen Administration: 1971, Duke University Press). hlm. 101.
[3] Trecer, Social Work Administration: Principles and Practices, (Associated Press, 1977), hlm. 320.
[4] Andrew Dunsen, Cutback Managemen in Public Bureaucracies: Popular Teories and Observed Outcomes in Whitehall, 1 edition, (London: Cambridge University Press; 2010), hlm. 124.
[5] Hessel Nogi s. Tangkilisan, Kebijakan Publik yang Membumi, (Yogyakarta: Lukman Offset & YPAPI, 2003), hlm. 1.
[6] Internasional Conference Against Corruption, “Declaration of the 8th International Conference Against Corruption; signed in Lima, Peru, 11 September 1997.
[7] Fockemma, SJ. Andreae, 1995 Rechtsgeleerd Handwoordenboek, Groningen-Djakarta: Bij J.B Wolter Uitgeversmaatschappij N.V sebagaimana di kutip Andi Hamzah, 1984, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahananya, Gramedia Pustaka Utama, hlm. 7.
[8] W.J.S Poerwardarminta, 1992, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 524.
[9] Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 8
[10] Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto Dan Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena: Ilmu dan Amal, Jakarta, hlm. 34.
[12] Soerjono Soekanto, 1985, Efektifitas Hukum dan Peran Sanksi, Remaja Karya, Jakarta, hlm. 27.
[13] A.D.Belinfante, Boerhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, (Binacipta: Cetakan Pertama Oktober 1983), hlm. 33.
[14] Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan, PT. Gunung Agung, Jakarta, hlm. 101-104. (dikutif SF. Marbun, Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Cetakan Kelima: Februari 2009, Yogyakarta, hlm. 41).
[15] Oemar Seno Adji, Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Seruling Masa, 1966, hlm. 24. Ibid, SF. Marbun, Moh. Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty Cetakan Kelima: Februari 2009, Yogyakarta, hlm. 44.
[16] Lihat juga H. George Frederickson, Administasi Negara Baru, Cetakan keempat, Jakarta; LP3ES, 1984, hlm. 98.