KEBIJAKAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP KEAMANAN
DI PERBATASAN KALIMANTAN TIMUR DALAM
Oleh: Aryono Putra
A. Pengantar
Negara selalu hidup dalam dunia yang penuh gangguan dan ancaman, dan gangguan dan ancaman itu tidak hanya muncul dalam masa perang, tetapi juga dalam masa damai. Gangguan dan ancaman tersebut muncul sebagai akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan strategi (lingstra) negara yang bersangkutan, baik itu lingkungan domestik maupun internasional.[2]
Ini berarti bahwa sebagai bagian dari sistem internasional, Indonesia tidak dapat menghindar dari perubahan-perubahan tersebut yang menimbulkan kompleksitas dalam system politik nasional dan global. Indonesia bahkan bisa menjadi bagian dari proses perubahan itu sendiri, tentu dengan dua konsekuensi: terpuruk karena kapasitas domestiknya tidak mampu mengatasi akibat dari perubahan tersebut, atau menarik manfaat dari perubahan itu, karena kapasitasnya memadai, untuk kepentingan pembangunan nasional secara keseluruhan.
Apapun konsekuensinya, langkah kebijakan sebagai jawaban terhadap perubahan lingkungan tetap harus diambil, apalagi jika dampak dari perubahan itu mempengaruhi sistem keamanan dan pertahanan negara.
Menurut pendapat ahli geografi politik, pengertian perbatasan dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu bondaries dan frontier. Kedua definisi ini mempunyai arti dan makna yang berbeda pula, meskipun keduanya saling melengkapi dan mempunyai nilai yang strategis bagi kedaulatan wilayah Negara. Perbatasan disebut frontier karena posisinya yang terletak di depan (front) atau di belakang (hiterlands) dari suatu negara. Oleh karena itu, frontier dapat juga disebut dengan istilah foreland, borderland, ataupun march. Sedangkan istilah boundary digunakan karena fungsinya yang mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik, dalam hal ini adalah negara. Semua yang terdapat di dalamnya terikat menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu dengan yang lain. Boundary paling tepat dipakai apabila suatu negara dipandang sebagai unit spasial yang berdaulat.
Beberapa pendapat para ahli geopolitik menurut A.E. Moodie tentang boundaries dan frontier antara lain sebagai berikut:[3]
Dalam bahasa Inggris, perbatasan memiliki dua istilah, yaitu boundaries dan frontier. Dalam bahasa sehari-hari, kedua istilah tersebut tidak ada bedanya. Tetapi, dalam persfektif geografi politik, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan makna. Menurutnya dalam buku yang berjudul, boundaries diartikan sebagai garis-garis yang mendemarkasikan batas-batas terluar dari wilayah suatu negara. Sementara, frontier merupakan zona (jalur) dengan lebar yang berbeda yang berfungsi sebagai pemisah dua wilayah yang berlainan negaranya.(Moodie dalam Daldjoeni, 1991).
Keamanan dalam konteks Indonesia, kerap diartikan sebagai sebuah fungsi yang dijalankan hanya oleh polisi. Padahal, keamanan seharusnya dalam dirinya juga mengandung unsur full protection terhadap seluruh bagian dari negara, yang berarti juga pertahanan Negara dan ini membenarkan keterlibatan militer dalam urusan keamanan nasional.
Pertahanan-keamanan, salah satu isu yang patut diperhatikan adalah kemungkinan munculnya konflik antar negara, yaitu Indonesia dan Malaysia. Potensi konflik ini bisa terjadi sebagai akibat persaingan antara kedua Negara dalam memperoleh sumber-sumber daya alam dan tumpang tindih klaim atas batas-batas territorial darat dan laut di daerah perbatasan.
Lemahnya kemampuan aparat kita untuk mengamankan batas wilayah, Ketika menjabat Menteri Pertahanan, saya pernah mendapat laporan,[4] bahwa di perbatasan antara Malaysia dan Kalimantan Timur (Indonesia) banyak patok-patok batas wilayah yang berpindah masuk ke wilayah Indonesia sehingga Indonesia kehilangan wilayah darat yang cukup luas. Bahkan saya pernah menerima informasi bahwa banyak keluarga di perbatasan tersebut pada yang pada 1971 ikut pemilu di Indonesia, tetapi pada pemilu 1999 sudah tidak mengikuti pemilu Indonesia karena tempat tinggalnya sudah diluar patok batas terluar Indonesia; artinya patok batas wilayah sudah berpindah dan menghilangkan banyak wilayah darat yang semula dimiliki Indonesia.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 27 ayat (3) berbunyi: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Pada UUD 1945 Khususnya pada BAB XII. PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA. Pasal 30 Ayat (1) berbunyi: “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. Pasal 30 Ayat (2) berbunyi: “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sishankamrata oleh TNI dan POLRI sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”.
Lalu peran militer seperti TNI (AD, AL, AU) pada Pasal 30 Ayat (3) berbunyi “sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”. Pada Pasal 30 Ayat (4) POLRI “Sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
Wilayah perbatasan laut di mulai dengan negara India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Kepulauan Palau, Papua New Guinea, Australia dan Timor Leste. Sementara perbatasan darat terdapat antara RI-Malaysia di Pulau Kalimantan, antara RI-Papua New Guinea di Papua dan antara RI-RDTL di pulau Timor. Dari berbagai hasil kajian tentang konflik di kawasan memperlihatkan bahwa konflik yang paling riil dan mungkin terjadi di masa yang akan datang di kawasan adalah konflik yang berasal dari persoalan batas. Karena itu persoalan-persoalan perbatasan sejak dini perlu mendapatkan perhatian, hal ini dimaksudkan untuk bisa lebih mengetahui berbagai permasalahan yang ada di wilayah perbatasan.
Sedangkan, Penegasan perbatasan darat antara RI-Malaysia di Pulau Kalimantan, sudah dimulai sejak MOU (memorandum under standing) terkait penegasan batas di tanda tangani tahun 1973. Pada tahun 2000 proses demarkasinya sudah selesai, tetapi kedua negara masih mempunyai perbedaan persepsi tentang batas di sepuluh lokasi (Outstanding Boundary Problems) dan sampai sekarang belum terselesaikan. Panjang garis batas antara RI-Malaysia di Kalimantan ± 2004 km melintasi 8 (delapan) daerah kabupaten di 2 (dua). Di propinsi Kalimantan Barat memiliki 5 (lima) wilayah kabupaten perbatasan yaitu Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas, Sintang, Bengkayang. Panjang garis garis batas Kalimantan Barat dengan Sarawak adalah 966 kilometer, melintasi 98 desa dalam 14 kecamatan, Di Kalimantan timur terdapat 3 (tiga) kabupaten, yaitu Nunukan, Kutai Barat dan Malinau dengan panjang garis batas sekitar 1.038 kilometer yang melintasi 9 kecamatan dan 256 desa. Di sepanjang perbatasan tersebut terdapat 56 Pos Lintas Batas, tiga diantaranya adalah PPLB yang mempunyai sarana CIQS tedapat di kabupaten Sanggau (Entikong) dan Aruk di Kalbar dan di Nunukan di Kaltim.[5]
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang di paparkan diatas, sesuai dengan penugasan dosen pengampuh mata kuliah Sistem Politik Di Indonesia, penulis membatasi permasalahan kedalam perumusan masalah sebagai berikut:
- Apakah dasar hukum pengelolaan keamanan perbatasan di Indonesia?
- Bagaimanakah kebijakan pengelolaan keamanan perbatasan Dalam sistem politik di Indonesia?
C. Dasar Hukum Pengelolaan Keamanan Perbatasan Indonesia-Malaysia
Dalam spektrum pengelolaan perbatasan pada umumnya dan pengelolaan keamanan pada khususnya, pemerintah di era reformasi telah melakukan lompatan besar dalam hal cara memandang wilayah perbatasan. Dikatakan sebagai lompatan besar karena pandangan-pandangan pemerintah di era reformasi dalam soal-soal yang terkait dengan perbatasan relatif bersifat komprehensif dan progresif.
Pemerintah tidak lagi canggung dan memiliki kemauan untuk membuat sebuah paradigma mengenai pengelolaan perbatasan dengan mengunakan pendekatan yang tidak lagi semata berorientasi pada keamanan security approach.[6]
Secara fundamental wilayah perbatasan saat ini tidak lagi di pandang sebagai sebuah daerah “terasing”, melainkan sebagai sebuah daerah yang harus disejahterakan, bahkan kemudian dianggap sebagai sebuah “gerbang negara”. Konsep tentang “gerbang negara” menjadi indikasi bahwa pemerintah saat ini berupaya memperbaiki citra daerah perbatasan sebagai serambi negara (foyer) dan bukan sebuah kebun kosong di belakang rumah (backyard).
Konsep ini kemudian dikembangkan dengan pendekatan yang tidak semata menekankan aspek keamanan dan ketertiban, namun pula kesejahteraan (prosperity approach). Dalam pendekatan ini, pemerintah secara mendasar membangun komitmen untuk menciptakan kemakmuran sembari menghormati komitmen untuk menciptakan kekhasan sosial-budaya daerah perbatasan dan menjaga pelestarian lingkungan di wilayah tersebut.
Adanya pemahaman yang lebih kompherenshif tentang wilayah perbatasan dengan pelibatan soal-soal yang terkait dengan human security hingga kesadaran lingkungan, memperlihatkan mulai hadirnya konsep-konsep yang lebih humanistis dan holistik dalam soal pengelolaan wilayah perbatasan.
Pemerintah Republik Indonesia melandaskan diri pada konstitusi dan berbagai Undang-Undang (UU) yang berlaku. Dan lebih dari itu, pemerintah kemudian menyusun berbagai kebijakan yang menjadi acuan pelaksanaan pengelolaan perbatasan pada umumnya dan keamanan pada khusunya. Secara konstitusional pengelolaan perbatasan terkait dengan persoalan wilayah negara. Dan hal itu ditetapkan dalam Pasal 7 UUD 1945, yang menyebutkan hakikat Republik Indonesia sebagai negara kepulauan dengan batas wilayah tertentu yang diatur oleh undang-undang. Kemudian Pasal 25a UUD 1945 mengenai wilayah negara menjadi landasan bagi ditetapkannya UU dan peraturan yang terkait dengan batas-batas negara, termasuk dalam hal ini UU Nomor 43 tahun 2008 mengenai wilayah negara.
Dalam melaksanakan amanat konstitusi tersebut, maka pada level implementasi, pemerintah dan DPR kemudian menetapkan beberapa undang-undang yang terkait dengan masalah pengelolaan perbatasan, baik yang bersifat langsung maupun tidak. Dalam soal perbatasan, beberapa UU dirancang untuk turut menguatkan kebijakan dan program pemerintah, termasuk di dalamnya UU Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional (PI) dan UU Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Yang memuat tentang program-program prioritas selama lima tahun, dimana tercakup pula soal wilayah perbatasan.
Sementara itu pada tataran implementasi, lebih lanjut pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2005 Tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2006 yang menjadi landasan bagi upaya pembangunan wilayah perbatasan sebagai prioritas utama untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah. Kebijakan inilah yang kemudian menjadi acuan pemerintah daerah dalam menciptakan lingkungan perbatasan yang bermartabat di mata internasional secara kompherensif.
Berbagai UU yang terkait dengan pengelolaan keamanan di perbatasan yang kerap menjadi landasan pengelolaan perbatasan, namun sifatnya tidak lansung dan hanya merupakan bagian dari tugas pokok yang lebih umum sifatnya. Produk peraturan perundang-undangan yang dipandang memiliki keterkaitan yaitu antara lain sebagai berikut:
- UU Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan;
- UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri);
- UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
- Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara:
Undang-undang itu secara eksplisit menegaskan di antaranya makna pertahanan semesta (pelibatan unsur Nirmiliter dalam soal pertahanan) sebagai model pertahanan yang dianut oleh bangsa, Peran TNI sebagai garda terdepan pertahanan dan penjaga kedaulatan termasuk di wilayah perbatasan, dan peran Polri sebagai instrumen pengelolaan dan penjaga keamanan di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Kebijakan pertahanan negara disusun berdasarkan tujuan dan kepentingan nasional dihadapkan pada perkembangan konteks strategis dan kondisi obyektif bangsa. Oleh sebab itu kebijakan pertahanan selalu dikaji dan dievaluasi secara terus menerus, dan pada saatnya dilakukan revisi-revisi agar selalu mampu menjawab tantangan jaman. Namun demikian, revisi yang dilakukan harus selalu bertumpu pada faham dan prinsip pertahanan yang dimuat oleh bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[7]
Adanya persamaan hak dalam hal klaim maritim bagi semua negara pantai memerlukan adanya kompromi. Jika terjadi tumpang tindih klaim maritim, diperlukan adanya delimitasi batas maritim yang melibatkan negara-negara terkait baik melalui negosiasi maupun melalui pihak ketiga seperti International Court of Justice (ICJ). Garis yang disepakati inilah yang akan menjadi batas terluar zona maritim negara-negara tersebut. Dengan kata lain, penentuan batas terluar suatu zona maritim sering kali tidak bisa dilakukan secara unilateral/sepihak, melainkan harus secara bilateral ataupun trilateral karena terjadinya tumpang tindih klaim antara beberapa negara.
Hal ini juga ditegaskan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, melalui peryataannya yang diberitakan oleh Kantor Berita Antara (26 Juni 2009). Pada tanggal 16 Februari 2005, Petronas memberikan konsesi atas Blok ND-6 dan ND-7 kepada Pertronas Carigali yang bermitra dengan Royal Dutch/Shell Group. Blok yang menjadi subyek konsesi Malaysia ini tumpang tindih dengan blok Ambalat yang dikonsesikan tahun 1999 kepada Shell dan Blok Ambalat Timur atau East Ambalat yang telah dikonsesikan oleh Indonesia kepada ENI, (perusahaan minyak Italia) dan Unocal, perusahan multinasional Amerika pada 12 Desember 2004. Adanya tumpang tindih pemberian konsesi inilah yang menjadi pemicu ketegangan antara kedua negara.
Ada satu pandangan bahwa dalam mengklaim Ambalat, Indonesia mengacu pada UNCLOS sementara “Malaysia bersikukuh pada peta yang disiapkannya tahun 1979”. Perlu dipahami bahwa Indonesia dan Malaysia sama-sama telah meratifikasi/menjadi anggota UNCLOS. Indonesia bahkan sudah menandatangani UNCLOS pada tahun 1985 melalui UU No. 17/1985, sedangkan Malaysia melakukan ratifikasi pada tanggal 14 Oktober 1996. Ini berarti bahwa Indonesia dan Malaysia harus mengikuti ketentuan UNCLOS dalam melakukan klaim atas kawasan laut seperti laut teritorial, ZEE dan landas kontinen. Artinya, dalam menyatakan hak atas Ambalat pun kedua negara harus mengacu pada UNCLOS. Secara teori, Malaysia atau Indonesia perlu membuktikan bahwa Ambalat merupakan landas kontinen mereka yang sah menurut UNCLOS.
Ambalat adalah blok dasar laut (landas kontinen) yang berlokasi di sebelah timur Pulau Borneo (Kalimantan). Sebagian besar Blok Ambalat berada pada jarak lebih dari 12 M dari garis pangkal sehingga termasuk dalam rejim hak berdaulat (sovereign rights), bukan kedaulatan (sovereignty). Pada kawasan ini Indonesia telah mengeksplorasi dan eksploitasi sejak tahun 1960an tanpa protes dari pihak Malaysia walaupun belum ada batas maritim definitif antara Malaysia dan Indonesia. Sengketa atas Blok Ambalat bermula saat Petronas memberikan blok konsesi kepada Shell untuk kawasan yang sebelumnya sudah dikonsesikan oleh Indonesia kepada Unocal dan ENI.
D. Kebijakan Pemerintah Pusat Pengelolaan Keamanan Perbatasan Indonesia-Malaysia Dalam Sistem Politik di Indonesia
Sistem Pertahanan Negara Indonesia adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, yang dipersiapkan pemerintah secara dini dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari segala ancaman.
Sistem ini diimplementasikan melalui tiga unsur kekuatan pertahanan. Ketiga unsur kekuatan pertahanan tersebut terdiri dari Komponen Utama dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia (TNI), Komponen Cadangan yakni semua warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan serta sarana prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama serta Komponen Pendukung.
Sebelum di keluarkannya UU RI Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, pengelolaan perbatasan dan keamanan di Indonesia masih berstandar pada sebuah kekuatan hukum yang generalis, dan bergantung dengan aspek internal dan eksternal yang dihadapi di masing-masing wilayah perbatasan. Oleh karena itu, pada dasarnya masing-masing daerah perbatasan darat, laut, baik di kalimantan, papua, atau NTT, memiliki aturan main spesifik yang berbeda.
Di dalam UU Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara, komitmen ini terasa semakin kuat. UU ini secara jelas menegaskan bahwa tujuan pengaturan wilayah negara adalah menjamin keutuhan wilayah, kedaulatan dan ketertiban demi kesejahteraan segenap bangsa. Begitu pula dalam UU ini mengaris bawahi wewenang pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam wilayah perbatasan adalah melakukan pembangunan dan koordinasi untuk mewujudkannya. Bahkan UU ini telah menetapkan didirikannya sebuah lembaga yang khusus menangani pengelolaan wilayah perbatasan.
Situasi ini jelas berbeda dengan paradigma yang dianut oleh Pemerintahan Orde Baru Tahun 1966-1998 dalam melihat daerah perbatasan. Secara umum pemerintahan Orde Baru secara substantif cenderung melihat wilayah perbatasan sebagai wilayah yang berbahaya dan patut “diamankan”. Di mana diasumsikan bahwa komponen-komponen separatisme dan oposan pemerintah kuat berada diwilayah itu. Oleh karenanya pada masa Pemerintahan Orde Baru, pendekatan keaamanan dianggap sebagai sebuah hal yang mutlak dikedepankan.
Akibat kemutlakan ini, alih-alih menjadi sebuah wilayah disejahterakan, daerah perbatasan dan masyarakat yang tinggal di dalamnya menjadi terisolir dan hidup dalam suasana serba terbatas. Kemiskinan pun menjadi kondisi yang jamak terjadi di wilayah-wilayah tersebut. Tidak mengherankan jika berdasarkan pemantauan Kementerian Percepatan Daerah Tertinggal (PDT), seluruh wilayah yang masuk dalam daerah perbatasan adalah daerah yang miskin dn tertinggal.
Sayangnya cara pandang Orde Baru ini sudah terlanjur terimplementasikan begitu lama. Hingga pembenahannya membutuhkan sebuah terobosan besar, baik dalam konteks paradigma maupun pada persoalan-persoalan yang lebih teknis, Yang tampaknya masih belum juga banyak terlaksana hingga saat ini.
Terlepas dari itu, dalam sudut pandang pemerintah saat ini, yang terlihat dari produk-produk kebijakannya, terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai terkait dengan wilayah perbatasan. Secara umum tujuan tersebut adalah menjadikan daerah perbatasan sebagai sebuah wilayah yang aman tertib dimana kesejahteraan dan perbaikan ekonomi dapat tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Dengan acuan pengelolaan keamanan di perbatasan yang demikian abstrak dan tidak termaktub secara khusus dalam sebuah undang-undang, dan hanya menjadi bagian dari kebijakan yang lain, menyebabkan pada akhirnya acuan pelaksana yang lebih detail diserahkan pada masing-masing pihak dan instansi yang memiliki kepentingan tugas di wilayah perbatasan.
1. Tentara Nasional Indonesia (TNI)
TNI memandang persoalan keamanan perbatasan adalah bagian dari tugas yang diembannya. Hal ini terutama bahwa TNI adalah elemen utama penjaga pertahanan negara. Tampaknya penekanan terhadap status perbatasan sebagai domain negara yang patut dipertahankan, itulah yang menjadi legitimasi mutlak bagi TNI untuk eksis dan mengembangkan kebijakan yang dianggap perlu di wilayah tersebut. Dalam persfektif demikian, sudah merupakan kewajaran bagi TNI jika institusi pertahanan negara kemudian memiliki peran dalam hal pengelolaannya.
Dalam merumuskan kebijakannya mengenai persoalan keamanan di perbatasan TNI mengacu pada TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang menyatakan bahwa “Tugas TNI adalah di bidang pertahahan untuk menjamin kedaulatan, keutuhan dan keselamatan bangsa dan negara”. TNI juga mengacu pada UU Nomor 34 Tahun 2008 Tentang Tentara Nasional Indonesia, di mana disebutkan pada Pasal 7 bahwa persoalan keamanan di perbatasan merupakan bagian dari tanggung jawab TNI sebagai elemen penjaga keutuhan NKRI. Selain itu, TNI mengacu pula pada Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, yang menyebutkan tanggung jawab pertahanan meliputi penciptaan keamanan nasional, di dalamnya. TNI juga mengacu pada “Buku Putih”[8] pertahanan yang disusun oleh Departemen Pertahanan Republik Indonesia. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa wilayah perbatasan negara termasuk wewenang TNI, yakni dalam hal pengamanan perbatasan, dan termasuk sebagai bagian dari strategi pertahanan militer dalam konteks operasi militer selain perang (OMSP).
Wajar ditegaskan bahwa dalam konteks normatif, baik Perpres No. 7 Tahun 2008 maupun “Buku Putih Pertahanan”, disebutkan pentingnya perhatian dan pelibatan unsur-unsur non-militer dan kerja sama dengan unsur-unsur tersebut dalam mengelola pertahanan negara. Dalam Perpres dikatakan, bahwa pertahanan negara melibatkan seluruh warga negara sebagai unsur cadangan, wilayah dan sumber nasional lainnya, dimana TNI dan Polri merupakan kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Sementara dalam Buku Putih tersebut disebutkan, bahwa sistem pertahanan rakyat semesta membutuhkan sebuah hubungan yang baik, antara TNI dengan pihak-pihak non-militer lainnya. Bahkan, disebutkan pula bahwa membantu tugas-tugas kepolisian juga merupakan kewajiban dari TNI.
2. Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
Pihak yang juga memiliki kewenangan besar mengenai persoalan keamanan perbatasan adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Hal ini karena secara normatif terkait dengan hakikat keberadaan kepolisian itu sendiri, sebagai institusi negara yang mengurus persoalan keamanan. Selepas Orde Baru, kepolisian kembali kepada fungsi awalnya yaitu sebagai elemen penjaga keamanan negara. Dalam kapasitas tersebut polisi, dianggap sebagai uniformed civilian yang bertugas menjaga keamanan di seluruh wilayah republik ini. Atas dasar itulah merupakan sebuah hal yang wajar dan merupakan keharusan konstitusional, jika kemudian kepolisian memainkan peran yang besar dalam persoalan keamanan di perbatasan.
Dalam menjalankan tugasnya di perbatasan, kepolisian tentu saja menggunakan beragam kerangka acuan, termasuk konstitusi UUD 1945 terutama pasal 30 mengenai pertahanan dan keamanan negara ayat 4, dan aturan main yang ada di bawahnya terutama UU RI Nomor 2 Tahun Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Disebutkan dalam konstitusi bahwa ”Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum”. Sementara dalam konteks Pasal 14 UU Nomor 2 Tahun 2002 dijelaskan bahwa tugas pokok Polri di antaranya melaksanakan tugas lain sesuai dengan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan, dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini berdasarkan Pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 2002, Polri berwenang untuk mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administrasi kepolisian.
Dalam hal yang berkenaan dengan keimigrasian berdasarkan Pasal 16 UU tersebut, polisi berwenang mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan dalam keadaan mendesak dan mendadak, untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.[9]
Dalam hal inilah sebenarnya, Polri memiliki kesiapan paradigma maupun struktural untuk mendukung pendekatan komprehensif dalam pengelolaan keamanan. Dengan pemahaman yang dimilikinya tentang arti penting elemen-elemen lain penunjang keamanan dan sumber-sumber potensi ancaman keamanan, Maka Polri secara normatif mampu menopang pendekatan kesejahteraan dalam pengelolaan keamanan pada umumnya dan keamanan di perbatasan pada khususnya.
E. Kesimpulan
Pada perkembangannya, dimensi penyelenggaraan sistem politik di Indonesia mengalami berbagai macam perubahan mengikuti kebijakan pemerintahan yang berkuasa. Pada masa demokrasi terpimpin, komitmen menyelenggarakan desentralisasi mengalami penurunan. Eskalasi nasional yang meningkat pada tahun 1950-an ditandai dengan terjadinya beberapa pemberontakan di daerah-daerah mendorong Presiden Soekarno memusatkan pola penyelenggaraan kekuasaan di bawah kendalinya yang menyebabkan desentralisasi berubah menjadi resentralisasi.
Dalam perjalanannya Reformasi tidak bisa dilihat terpisah dari isu keamanan. Dalam konteks demikian reformasi harus diartikan sebagai proses yang memberi jaminan akan stabilitas dan keamanan bangsa dan negara untuk jangka panjang. Jika reformasi diartikan sebagai penataan kembali, maka dalam konteks keamanan hal itu harus diartikan sebagai partisipasi seluruh rakyat dalam membangun sistem keamanan Negara. Dengan kata lain, upaya penciptaan keamanan nasional tidak hanya menjadi urusan negara.
Dalam sejarahnya pada bulan Februari 2005, hubungan Pertahanan dan keamanan Indonesia dan Malaysia mengalami ketegangan karena sengketa kepemilikan atas Blok dasar laut yang oleh Indonesia disebut Blok Ambalat. Dalam sengketa ini muncul saat perusahan minyak Malaysia, Petronas, memberikan konsesi eksplorasi minyak kepada perusahaan Shell pada tanggal 16 Februari 2005. Sementara itu, Indonesia sudah memberikan konsesi untuk wilayah dasar laut yang sama kepada Unocal pada tanggal 12 Desember 2004. Dengan kata lain, dalam perspektif Indonesia, Malaysia telah mengklaim kawasan yang sebelumnya telah dikelola oleh Indonesia. Meskipun kedua belah pihak sudah menempuh upaya-upaya penyelesaian melalui negosiasi, sengketa terkait Ambalat belum juga tuntas.
DAFTAR PUSTAKA
Rodon Pedrason, Bantarto Bandoro, Reformasi, Demokrasi Dan Keamanan: Kementerian Pertahanan Dan Net Assessment. Dalam Jurnal ”Universitas Pertahanan Indonesia”. Website: pertahanan. www.idu.ac. Diakses pada tanggal 04 September 2011.
Riset Unhan, Pulau Sebatik, Solusi Pengembangan Wilayah Perbatasan, www.wilayah perbatasan.com, diakses pada tanggal 7 September 2011.
Departemen Pertahanan RI, 2008. Buku Putih Pertahanan Indonesia, Jakarta, Dephan RI.
Ganewati Wuryandari etc, 2009, Kebijakan Pengelolaan Keamanan Perbatasan” (Keamanan Di Perbatasan Indonesia-Timor Leste); Sumber Ancaman Dan Kebijakan Pengelolaannya. Pustaka Pelajar dan P2P-LIPI. Cetakan I: Oktober, Yogyakarta.
Moh. Mahfud MD, 2009, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Cetakan ke-2, Januari 2010, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia
Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional (PI)
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2008 Tentang Tentara Nasional Indonesia
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas).
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara
[1] Secara harafiah’ Analisis kebijakan publik walaupun merupakan bagian dari studi Ilmu Administrasi Negara, tetapi bersifat multidisipliner, karena banyak meminjam teori, metode dan teknik dari studi ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu politik, dan ilmu psikologi. Studi ini berkembang pada awal tahun 1970-an terutama dengan terbitnya tulisan Harold D. Lawsell Tentang Policy Science. Jadi Kebijakan Pemerintah Pusat Terhadap Keamanan Pengelolaan Perbatasan Kaltim Dalam Sistem Politik Serta Perkembangannya di Indonesia senantiasa berubah dan mengikuti selera Presiden dan Penguasanya legislatifnya sebagai pembuat Peraturan Perundang-Undangan.
[2] Rodon Pedrason, Bantarto Bandoro, Reformasi, Demokrasi Dan Keamanan: Kementerian Pertahanan Dan Net Assessment. Penulis saat ini menjabat sebagai Kaprodi Sekolah Strategi Perang Semesta (SSPS) Unhan, Dalam Jurnal ”Universitas Pertahanan Indonesia”. Website: pertahanan. www.idu.ac. Diakses pada tanggal 04 September 2011.
[3] Suryo Sakti Hadiwijiyo, Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Cetakan pertama 2001, Graha Ilmu, Yogyakarta. hlm. 64.
[4] Moh. Mahfud MD, 2009, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Cetakan ke-2, Januari 2010, RajaGrafindo Persada, Jakarta. hlm. 229.
[7] Buku Putih Pertahanan Negara Republik Indonesia ini diberi judul "INDONESIA: Mempertahanankan Tanah Air Memasuki Abad 21". Di dalam judul tersebut terkandung makna bangsa Indonesia rela mengorbankan jiwa dan raga demi mempertahankan Tanah Air. Makna tersebut sangat penting, terlebih lagi dalam memasuki abad 21, dimana tantangan dan ancaman yang dihadapi bangsa Indonesia tidak semakin ringan.